Persoalan upah hingga saat ini, masih menjadi dinamika yang cukup tajam bagi dunia perburuhan. Tarik ulur kepentingan penetapan besaran upah antara buruh dan pengusaha, masih terus terjadi. Bahkan hukum ekonomi politik menyatakan bahwa konflik kepentingan antara buruh dan pengusaha dalam hal penentuan upah, akan terus terjadi hingga salah satu pihak saling menyisihkan. Ini didasari oleh logika ekonomi kedua pihak yang saling bertentangan. Satu sisi buruh ingin secara terus menerus meningkatkan kualitas upah untuk menjamin kehidupannya, sementara disisi yang lainnya pengusaha justru ingin menekan upah serendah mungkin agar dapat mencapai akumulasi keuntungan sebesar-besarnya.
Faktanya, dalam hal penentuan nilai upah selama ini, buruh cenderung “inferior” terhadap pengusaha. Hal tersebut diakibatkan oleh posisi tawar buruh yang relatif lemah dihadapan pengusaha. Situasi ini mengingatkan kita kepada teori upah besi yang dikemukakan oleh Ferdinand Lassalle. Ia mengasumsikan bahwa pengusaha berada pada posisi yang kuat, dan ingin memaksimalkan keuntungannya, sementara buruh berada pada posisi yang lemah, atau tidak mempunyai kekuatan tawar-menawar sama sekali. Posisi buruh yang lemah ini membuat mereka pasrah pada nasib, dan bersedia menerima upah pada tingkat serendah apapun demi untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka. Itulah sebabnya teori upah ini dinamakan upah besi, karena upah yang diterima buruh benar-benar hanya untuk memenuhi kebutuhan minimal hidupnya .
Dari apa yang dikatakan oleh Lasalle, setidaknya mengajarkan kita 2 (dua) hal, yaitu : Pertama, bahwa sesungguhnya upah yang layak tidak semata-mata ditentukan oleh regulasi atau aturan pengupahan yang telah ditetapkan oleh Negara. Namun juga sangat ditentukan oleh variabel yang ada disekelilingnya, seperti tekanan politik,ekonomi, budaya hingga keadaan sosial disekitar. Kedua, Lasalle ingin mengajarkan kepada kaum buruh, bahwa hanya dengan kolektivitas yang kuat melalui serikat , kaum buruh dapat memperjuangkan kebijakan pengupahan yang adil dan memihak kepentingan kaumnya.
Upah Layak
Upah adalah hak buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Prinsip upah sejatinya harus mengabdi kepada kemanusiaan dengan perlakuan yang seadil dan selayak mungkin. Hal ini sesuai dengan amanat konstitusi Negara kita, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 28D ayat (2) yang menyatakan bahwa, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Hal ini juga diperkuat melalui Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, yang menyatakan bahwa, “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Lantas apa yang disebut dengan upah layak?
Mendefnisikan upah layak memang bukan perkara yang mudah. Layak memiliki konotasi, “ukuran”, “batasan”, ataupun “takaran”. Dalam terminologi kemanusiaan, layak dapat ditemukan dalam padanan kata “patut”, “pantas”, “mencukupi”, “setimpal”, “terhormat” dan “mulia”. Namun menurut Engels, untuk membangun pengetahuan mengenai upah yang dinilai layak, jangan kita bersandar pada ilmu pengetahuan moral atau hukum dan keadilan, atau pada sesuatu perasaan kemanusiaan yang sentimental, kewajaran, atau bahkan kedermawanan yang secara moral layak, yang bahkan adil menurut hukum, mungkin sekali sangat jauh daripada layak secara sosial . Lebih lanjut menurut Engels, “Kelayakan atau ketidak-layakan sosial ditentukan oleh satu ilmu pengetahuan saja-ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan kenyataan-kenyataan material dari produksi dan pertukaran, ilmu pengetahuan ekonomi politik” (Sumber : Marxist.org).
Engels mencoba untuk menyajikan pemahaman upah layak berdasarkan skala kebutuhan upah buruh dalam sehari kerja. Menurut Engels, upah sehari kerja, dalam kondisi-kondisi normal, ialah jumlah yang diperlukan oleh pekerja untuk memperoleh bekal-bekal kehidupan (means of existence) yang diperlukan, sesuai standar hidup; kedudukan dan negeri, dan untuk menjaga agar dirinya dalam kemampuan kerja dan untuk mengembang-biakkan kaumnya (race).
Secara umum dari apa yang dikemukakan oleh Engels, upah yang layak dapat dimaknai sebagai keseluruhan komponen biaya yang dibutuhkan oleh seorang buruh untuk bekerja, baik dalam aspek fisik maupun non-fisik, termasuk dalam hal kehidupan sosial. Aspek fisik adalah aspek yang menunjang pengembangan jasmani seorang buruh agar dapat bekerja secara efektif. Aspek ini mencakup kebutuhan gizi baik makanan dan minuman, tempat tinggal termasuk MCK, sarana kesehatan, pakaian yang layak, istirahat dan rekreasi hingga transportasi. Sedangkan aspek non-fisik adalah aspek yang dapat menunjang kualitas harkat dan martabat seorang buruh. Diantarnya sarana yang dapat mengembangkan ilmu pengetahuan kaum buruh, baik berupa buku, majalah, koran hingga media berbasis online sebagaimna yang kita kenal diabad modern sekarang ini. Aspek ini juga termasuk sarana komunikasi yang dapat membantu seorang buruh menjalani rangkaian aktivitas sosial disekelilingnya.
Upah Murah
Indonesia merupakan Negara yang tingkat upah buruhnya tergolong murah. Menurut hasil survei National Wages and Produktivity Commission, Departemen of Labor and Employment tentang perbandingan upah tahun 2015 ini, Indonesia menempati urutan terendah nomor 7 dalam hal peringkat upah minimum diantara Negara-Negara Asia dan sekitarnya. Dari 17 Negara yang disurvei, Indonesia berada diperingkat 11 dibawah Filipina, Thailand dan Malaysia . Indonesia sendiri memiliki rata-rata upah minimum bulanan terendah sebesar 83.82 USD atau sekitar Rp.1,099 juta dan tertingginya sebesar 205.74 USD atau sekitar Rp. 2,699 juta . Negara yang menempati peringkat tertinggi adalah Australia dengan upah minimum bulanan tertinggi sebesar 3,113.02 USD atau sekitar Rp.40,852 juta. Sedangkan Laos menempati urutan terendah dengan upah minimum bulan tertinggi sebesar 41.97 USD atau sekitar Rp.550,772 ribu (Sumber : National Wages and Productivity Commission).
Upah buruh Indonesia yang tergolong murah, adalah persoalan lama yang tak kunjung selesai. Hal ini diakibatkan oleh sistem penentuan upah minimum berdasarkan standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL), yang belum sepenuhnya mengakomodasi kebutuhan rill kehidupan buruh. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 13 Tahun 2012 tentang Komponen Dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak, hanya menetapkan 60 item komponen kebutuhan hidup layak. Sementara masih banyak komponen penting yang harus dimasukkan guna menunjang kehidupan kaum buruh. Diantaranya adalah kebutuhan hidup buruh yang menunjang baik untuk fisik maupun non-fisik yang belum dimasukkan kedalam komponen tersebut. Sebut saja untuk komponen pendidikan, hal yang paling vital untuk membangun pengetahuan buruh. Dalam permenakertrans tersebut, komponen pendidikan hanya berisi majalah/radio dan ballpoint/pensil. Apa itu bisa dianggap layak sebagai sarana untuk membangun pengetahuan buruh? Tentu saja tidak. Item lain seperti buku, televisi, atau sarana untuk akses media online, adalah kebutuhan pengetahuan yang sudah menjadi keharusan saat ini. Begitu halnya dengan alat komunikasi, buruh perlu untuk diberikan kemudahan untuk bersosialisasi dengan ruang sosialnya melalui ketersediaan sarana komunikasi berupa handphone dan pulsa.
Anehnya, setelah beberapa tahun tuntutan revisi komponen kebutuhan hidup layak tersebut diajukan oleh kaum buruh, Pemerintah tetap tidak bergeming dan cenderung menutup mata terhadap harapan kaum buruh. Maka tidak salah jika buruh disebut sebagai “koeli dinegeri sendiri”. Fakta ini membuka mata bahwa kehidupan kaum buruh masih jauh dari tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia, yakni penghapusan penghisapan manusia atas manusia lainnya (exploitation de I’homme par I’homme) dan penindasan bangsa atas bangsa lainnya (exploitation de nation par nation).
Tulisan ini sebelumnya dimuat di Koran Harian Tribun Kaltim, Kolom Opini Edisi 2 Mei 2015.
Arul says
Salam kenal
Kunjungan dari arul.my.id
Herdiansyah Hamzah says
Trims sudah mampir, semoga artikel2 diblog ini bisa memberikan manfaat.