Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah. Namun sayang, kekayaan tersebut tidak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Salah satu faktor utama penyebab ketimpangan tersebut adalah pola dan sistem ekonomi yang dijalankan oleh Negara. Kita mengalami pola ketergantungan yang sangat tinggi terhadap modal asing, sehingga membuat sistem ekonomi Indonesia jauh dari kemandirian. Negara cenderung memandang remeh pembangunan ekonomi, dimana modal yang besar dianggap sebagai jaminan keberhasilan pembangunan ekonomi. Walhasil, pemerintah sejak dulu begitu gemar mecari pinjaman utang dari negara-negara maju melalui lembaga-lembaga keuangan internasionalnya, baik IMF, Bank Dunia, Paris Club, dan lainnya. Tentu saja cara berpikir seperti ini, merupakan pola pikir yang sesat, dan telah terbukti gagal secara historis. Faktanya, ketika sebuah Negara meletakkan fondasi pembangunan ekonominya melalui utang, hanya melahirkan barisan panjang kemiskinan dimana-mana.
Strategi Gagal
Utang indonesia hingga bulan Juni 2011, mencapai Rp 1.804 triliun, naik Rp 127 triliun dibandingkan pada posisi utang diakhir Tahun 2010 sebesar Rp 1.677 triliun[1]. Jika utang ini dibagi-bagi kepada setiap penduduk Indonesia yang kini berjumlah 237 juta jiwa lebih[2], maka setiap orang, termasuk bayi yang baru lahir, akan menanggung utang sebesar Rp.7.591.272. Jumlah utang Indonesia saat ini, bahwa jauh lebih tinggi dibandingkan pendapatan perkapita penduduk (GNP) Indonesia dalam kurung waktu setahun. Jika kita melihat posisi utang Indonesia yang begitu besar tersebut, maka patut jika pertanyakan, apakah benar utang-utang yang bertumpuk itu turut dinikmati oleh Rakyat? Ataukah justru utang tersebut hanya dinikmati oleh elit kekuasaan semata? Jika memang benar demikian adanya, maka sangat tidak adil jika elit kekuasaan yang beutang, tapi justru rakyat yang dibebankan untuk membayarnya melalui beragam bentuk pencabutan subsidi publik. Mulai dari pencabutan subsidi BBM. TDL, kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya. Beberapa waktu belakangan ini, masih segar dalam ingatan kita, bagaimana demonstarasi besar-besaran yang terjadi di Yunani, dikarenakan upaya Pemerintahnya yang ingin menerapkan program penghematan terhadap anggaran Negara. Ini juga dilatarbelakangi oleh utang yang jatuh tempo dan tidak mampu terbayarkan. Sekali lagi, rakyat yang dikorbankan. Utang yang dianggap sebagai dewa penolong itu, ternyata tidak lebih dari iblis yang begitu menakutkan dan siap menggiring rakyat dalam jurang kematian secara perlahan.
Setidaknya ada 5 (lima) alasan mendasar mengapa utang dianggap sebagai ancaman mematikan bagi negara-negara pengutang, termasuk Indonesia. Pertama, utang yang notabene diberikan oleh negara-negara maju melalui lembaga keuangan internasional seperti IMF, merupakan cara dan pintu masuk mereka untuk menjajah negara-negara kaya sumber daya alam, seperti Indonesia. Kedua, utang merupakan senjata politik negara-negara maju seperti Amerika, untuk menguasai dan mendikte negara-negara pengutang. Melalui utang, akan lebih mudah bagi mereka untuk mengatur dan mengontrol ekonomi negara pengutang, berdasarkan kepentingannya semata. Utang yang pada hakekatnya ditujukan untuk membantu perekonomian negara-negara miskin dan berkembang, ternyata hanya sebagai kedok negara maju. Ketiga, utang tentu saja tidak diberikan cuma-cuma. Setiap utang yang diberikan, selalui disertai dengan sejumlah syarat ini dan itu, tergantung dari kemauan dan kepentingan negara-negara maju. Keempat, utang yang diberikan dalam bentuk mata uang Dollar. Sehingga posisi negara pengutang sangatlah dirugikan. Kurs Dollar yang sedang mengalami penguatan dipasar internasional, tentu saja memaksa negara pengutang untuk menyesuaikan utang-utangnya bersarkan kurs dollar tersebut. Kelima, utang yang dipinjam oleh negara-negara pengutang, selama ini cenderung hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Mereka yang duduk ditampuk kekuasaan, menjadi utang sebagai sasaran korupsi yang empuk. Sementara disisi lain, justru rakyat yang terus dikorbankan untuk menanggung beban utang tersebut.
Ekonomi Tebal Muka
Situasi perkembangan ekonomi indonesia, tidak lepas dari imbas gelembung krisis dijantung induk kapitalisme global, tepat penghujung tahun 2008 lalu. Meski berusaha dikaburkan dengan sejumlah kampanye keberhasilan yang ditonjolkan oleh rezim SBY – Boediono, namun fakta tetap tidak bisa ditutupi, bahwa sebenarnya Indonesia adalah Negara miskin yang berkedok kaya. SBY dalam sebuah kesempatan di forum internasional World Economic Forum (WEF), bahkan dengan congkaknya menegaskan bahwa, “PDB kami mendekati US$10 triliun, dan kami menargetkan menjadi negara dengan perekonomian 10 besar di dunia dalam satu dekade ke depan ini”[3]. Hal yang sama diperlihatkan oleh Kementerian Keuangan, yang dipertegas oleh data yang dilansir oleh Badan Pusat Statistik (BPS), dengan menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi indonesia pada kwartal pertama Tahun 2011, mengalami peningkatan sebesar 6,5 persen[4]. Jika dilihat dari pendekatan politis, maka jelas upaya rezim tersebut merupakan pola pembangunan citra demi mendapatkan kepercayaan masyarakat (public trust) dan memperbaiki harapan (expectation) yang sejatinya mulai luntur diperiode kedua Pemerintahan SBY.
Jika mengacu kepada situasi utang Indonesia yang terus mebengkak dengan grafik yang meningkat tajam, apakah kampanye presiden dan para pembatunya yang membesar-besarkan keberhasilan pembangunan ekonomi Indonesia tersebut dapat dikatakan tepat? Sama sekali tidak. Justru yang sedang dipertontonkan adalah keangkuhan ditengah keterpurukan. Pemerintah kita telah memperlihatkan muka tebal, dimana mayoritas rakyat sesungguhnya tau jika ekonomi kita sedang terpuruk. Sangat berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Pemerintah. Nasib dari ratusan juta penduduk Indonesia sedang dipertaruhkan, dimana kesejahteraan dan harapan masa depan menjadi mimpi yang seakan sulit diraih oleh setiap kepala rakyat Indonesia. Pemerintah seharusnya berhenti membesar-besarkan keberhasilan yang sama sekali tidak dirasakan oleh rakyat. Kita harus belajar, bahwa tidak satupun negara di dunia ini yang berhasil membangun ekonominya dengan mengandalkan utang. Sudah saatnya kita berjuang untuk membangun ekonomi kita secara mandiri dan bekedaulatan, tanpa berhantung dari modal asing, yang terbukti hanya membawa petaka bagi rakyat Indonesia. Sistem ekonomi tebal muka dengan mendewaka strategi utang dari modal asing, jelas sudah terbukti gagal. Dan mengulangi kesalahan yang sama, adalah kebodohan yang tiada duanya. Seperti kata pepatah, kesalahan pada awalnya adalah tragedi, dan kesalahan yang kedua kalinya adalah lelucon.
Tulisan ini dimuat di Harian Jogja 8 Juli 2011