X

Politik Dua Kaki DPRD

Polemik Pembangun Masjid di Lapangan Kinibalu Samarinda. Sumber Gambar : kaltimkece.id.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Timur (Kaltim) akhirnya menyatakan sikap penolakan terhadap pembangunan masjid di lapangan kibalu. Sikap penolakan ini diputuskan oleh DPRD Kaltim, setelah sebelumnya didahului dengan pertemuan pihak terkait, terutama warga kinibalu dan LSM yang selama ini getol menolak pembangunan masjid di lapangan bersejarah tersebut. Banyak kalangan yang kemudian meragukan sikap DPRD Kaltim ini, mengingat sikap awal DPRD Kaltim yang juga turut merestui proyek pembangunan masjid ini. Bahkan tidak sedikit yang menyebut DPRD Kaltim sedang memainkan “politik dua kaki”. Satu kaki menerima dan merestui proyek ini, sementara satu kaki lainnya justru menolak. Apakah DPRD Kaltim sedang disandera oleh euforia Pemilu 2019 yang mengharuskannya bersikap baik dihadapan publik? Kenapa baru sekarang menunjukkan sikap penolakan setelah sebelumnya justru bulat menerima? Apa hal ihwal yang mendasari perubahan sikap DPRD Kaltim ini? Apakah perubahan sikap ini berdampak positif bagi publik, atau justru sebaliknya?

Argumentasi Teknis

Dari pemberitaan beberapa media, diketahui bahwa perubahan sikap DPRD Kaltim yang pada akhirnya menolak pembangunan masjid di lapangan kinibalu ini, didasari oleh beragam alasan. Salah satu alasan kuat yang dijadikan dasar penolakan adalah proses pembangunan masjid yang dilakukan tanpa disertai dengan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Belakangan diketahui bahwa plang yang terpasang di depan proyek pembangunan masjid, hanya berupa nomor registrasi IMB. Tentu ini lebih tepat disebut argumenasi teknis, daripada argumentasi yang bersifat substansial. Artinya, argumentasi teknis ini hanya menyentuh permukaan masalah, tanpa mampu menjangkau akarnya. Lantas apa yang harus dilakukan oleh DPRD Kaltim untuk menyentuh akar persoalan pembangunan masjid kinibalu ini? Sebelum kita menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita mencoba kembali memotret aturan teknis yang dijadikan dasar oleh DPRD Kaltim dalam menolak pembangunan masjid ini.

Dalam Peraturan Bersama Antara Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006, tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, Dan Pendirian Rumah Ibadat, menetapkan syarat tertentu terhadap pendirian rumah ibadat. Secara garis besar, peraturan bersama ini menjelaskan bahwa, “Pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung”, sebagaimana diatur dalam kententuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun selain persyaratan administratif dan teknis bangunan gedung tersebut, peraturan persama ini juga mengatur mengenai “syarat khusus” yang harus dipenuhi untuk pendirian rumah ibadat.

Dalam Pasal 14 ayat (2) peraturan bersama tersebut menyebutkan bahwa, “Selain memenuhi persyaratan administratif dan teknis bangunan gedung, pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi : Pertama, daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah. Kedua, dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh Lurah/Kepala Desa. Ketiga, rekomendasi tertulis kepala kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota, dan Keempat, rekomendasi tertulis Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten/Kota”.

Artinya, sebelum persyaratan khusus tersebut terpenuhi terlebih dahulu, maka proses pemberian izin terhadap pendirian masjid di lapangan kinibalu, seharusnya tidak akan pernah diberikan. Dari keempat persyaratan khusus ini, diketahui belakangan bahwa hingga kini, rekomendasi tertulis dari FKUB Kota Samarinda, tidak pernah diberikan untuk pendirian masjid di lapangan kinibalu. Anehnya, proyek pembangunan masjid tetap berjalan tanpa izin mendirikan bangunan (IMB). Padahal secara hukum, dalam perspektif teori administrasi Negara, adalah hal yang sama sekali tidak diperbolehkan membangun sesuatu yang dilarang, sebelum dikeluarkannya izin dari pihak yang berwenang terlebihi dahulu. Jikalaupun IMB tetap dipaksakan oleh Pemerintah, maka sudah dapat dipastikan bahwa IMB tersebut cacat secara formil. FKUB sendiri jangan dipahami sekedar sebagai lembaga pemberi cap stempel. FKUB adalah forum bersama yang bersifat dinamis menampung aspirasi warga masyarakat. Dalam peraturan bersama tersebut, setidaknya terdapat 5 (lima) tugas pokok dari FKUB Kabupaten/Kota, yakni : melakukan dialog, menampung aspirasi, menyalurkan aspirasi, sosialisasi peraturan, dan memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadat.

Politik Dua Kaki

Berdasarkan argumentasi teknis yang diuraikan sebelumnya, maka sesungguhnya pilihan bagi DPRD Kaltim untuk menolak pembangunan masjid di lapangan kinibalu, sesungguhnya memiliki dasar yang cukup kuat dan logis secara hukum. Namun lagi-lagi harus ditegaskan bahwa, memandang polemik pembangunan masjid di lapangan kinibalu, tidak bisa hanya dilihat pada kacamata teknis semata. Intinya begini, pada satu sisi, sikap penolakan DPRD Kaltim tersebut pertanda berjalannya “fungsi pengawasan” DPRD, sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemda jo. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tatib DPRD.

Pengawasan ini terutama erat kaitannya dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, terkait dengan proyek pembangunan mesjid kinibalu yang tidak disertai dengan IMB. Tapi pada sisi lain, DPRD Kaltim juga perlu dikritik. Sebab penolakan ini kan hanya berada di level teknis (pembangunan mesjid tanpa IMB), bukan pada level substansi kebijakan. Pertanyaannya kira-kira begini, “Kalau persyaratan IMB sudah dipenuhi, apakah pembangunan mesjid di lapangan kinibalu ini akan kembali direstui oleh DPRD Kaltim?”. Ini yang mesti dijawab oleh DPRD Kaltim, sekaligus untuk menepis isu politik dua kaki yang dituduhkan sejumlah pihak.

Sikap penolakan DPRD Kaltim, sebaiknya tidak hanya berkutat pada alasan teknis. Tapi lebih dari itu, enolakan ini juga harus karena alasan substansial, yakni menolak pembangunan mesjid di kinibalu ini “tanpa syarat“. Alasan pokoknya tentu saja karena pertimbangan baik historis, sosiologis dan kultural. Jadi bagi saya, tidak cukup hanya dengan sekedar berupa surat tertulis ke pemkot samarinda yang ditembuskan kepada gubernur. Namun sikap penolakan DPRD Kaltim ini semestinya juga dibawa ke forum resmi. Misalnya dengan menggunakan hak interpelasi DPRD kepada Gubernur terkait kebijakan pembangunan mesjid kinibalu ini. Hal ini sekaligus sebagai koreksi kepada DPRD Kaltim yang sebelumnya juga menyetujui proyek mesjid di kinibalu ini. Sebab langkah mengirim surat penolakan itu, tidak akan berpengaruh signifikan selain dampaknya secara politis. Seribu surat sekalipun jika gubernur kekeuh, tidak akan berpengaruh apa-apa. Jadi lebih baik gunakan fungsi pengawasan melalui hak interpelasi tesebut. Dengan cara seperti ini, maka DPRD bisa menekan dan memaksa gubernur agar seratus persen benar-benar menghentikan proyek ini.

Sedari awal, banyak pihak yang menyayangkan sikap DPRD yang terkesan abai dengan banyaknya protes warga terhadap rencana pembangunan masjid di lapangan kinibalu. Walhasil, sikap penolakan yang datang belakangan, dicap terlambat dan sekedar cari momentum untuk Pemilu 2019. Ini konsekuensi logis yang harus diterima oleh DPRD Kaltim secara kelembagaan. Bahkan tudingan DPRD Kaltim sedang menjalankan politik dua kaki, juga mesti diterima secara legowo. Jauh lebih baik DPRD Kaltim menerima kritik itu secara terbuka dan dewasam dibanding memberikan reaksi balik yang tidak produktif. Kritik publik kepada DPRD Kaltim, harus dimaknai sebagai self kritik bagi bagi lembaganya sendiri. Memang sikap ini cenderung terlambat, dan itu yang sangat disayangkan. Tetapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Sekarang tinggal bagaimana DPRD Kaltim membuktikan keseriusan sikap penolakan ini secara konsisten, demi menjaga ekspektasi publik.

Tulisan ini sebelumnya sudah dimuat di Koran Harian Bontang Post, Edisi Kamis 13 September 2018.

Categories: Situasi Daerah
Tags: DPRDIMBKaltimKinibaluMasjidPerizinanPolitikSamarinda