Sambil menunggu jadwal pulang ke tempat anak istri, tiba-tiba dikejutkan dengan pemberitaan yang sedang heboh terkait tindakan plagiat yang dilakukan oleh oknum Dosen di Universitas Padjajaran Bandung. Dosen Unpad ini dituduh menjiplak tesis milik bekas mahasiswanya, Helen Ryanita Nainggolan. Bukan tanpa alasan bagi Helen untuk menuduh dosen tersebut.
Tesis milik Helen yang berjudul “Tinjauan Yuridis Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik (Certification Authority) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada Perdagangan Secara Elektronik (E-Commerce) Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris”, belakangan diketahui dijplak oleh dosen Unpad tersebut kedalam buku yang diterbitkanya berjudul “Cybernotary” (Sumber : Kompas Online).
Walhasil, berita inipun bergulir kemana-mana. Sebelum kasus plagiat di kalangan civitas akademika Unpad ini merebak, terdapat begitu banyak kasus-kasus serupa. Dan yang paling memilukan adalah, kasus-kasus plagiat tersebut justru melibatkan kalangan pendidik atau pengajar yang seharusnya memberi teladan bagi anak didiknya. Di awal tahun 2012, kasus plagiat juga pernah melibatkan tiga orang calon Guru Besar di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung (Sumber : Tempo)
Kejadian serupa juga terjadi ditempat lain. Masih ingat kasus AR, dosen Universitas Negeri Gorontalo (UNG)? (Sumber : Manado Today) Atau kasus seorang Dosen berpangkat Lektor Kepala di Universitas Lampung (Unila) yang melakukan plagiat terhadap Jurnal Ilmiah? (Sumber : TP UNS) Atau mungkin kasus Prof. Harsono, Guru Besar Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Solo? (Sumber : Solopos) Ini hanya sebagain kecil dari kasus-kasus plagiat yang melibatkan dosen atau pendidik.
Ini tentu saja menjadi preseden buruk bagi lingkungan pendidikan Negara kita. Tradisi buruk yang mencoreng sistem pendidikan nasional Indonesia, yang hari ini justru sedang merangkak melepaskan diri dari jerat kebobrokan. Lantas apa sebenarnya yang terjadi? Siapa yang harus dipersalahkan? Setidaknya terdapat dua alasan pokok yang melandasi munculnya anak haram pengetahuan yang bernama plagiat ini.
Pertama, budaya sistem pendidikan nasional Indonesia yang cenderung mengukur keberhasilan dari hasil akhir dibanding proses. Sistem pendidikan tidak mampu mengarahkan seseorang untuk mengenali proses pengetahuan dengan baik pada setiap tingkatan atau jenjang pendidikan. Akibatnya, fokus setiap peserta didik, lebih mengarah kepada hasil akhir yang dikerjakannya tanpa pernah perduli dengan proses atau bagaimana cara ia mendapatkannya. Sederhana, misalnya saja apa yang sedang berlaku dikampus-kampus. Nilai lebih dipentingkan dibanding proses memperoleh ilmu pengetahuan. Tugas-tugas makalah dan sebagainya dikerjakan hanya untuk memenuhi prasayarat penilaian dosen. Yang penting tugas selesai dan ada bukti fisik terlebih dahulu. Urusan isi dan substansi, adalah urusan belakangan yang cenderung dianggap tidak penting.
Kedua, hilangnya tanggung jawab Negara dalam mengawasi tindakan-tindakan yang merusak tradisi ilmiah dunia pendidikan. Negara dan aparatur pelaksananya, telah lalai dalam mengawasi tindakan plagiat ini. Negara melalui pemerintah cenderung memandang manfaat pendidikan hanya pada aspek orientasi keuntungan ekonomis (profit oriented) semata, tidak lagi mengedepankan manfaat pendidikan sebagai sarana membangun karakter (affective), pengetahuan (cognitive) dan manfaat praktis dalam kehidupan sehari-hari bagi anak didik. Pergeseran orientasi ini tidak hanya berlaku bagi anak didik, tapi juga menyeret dosen atau pendidik. Keberadaan Permendiknas Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi, akhirnya menjadi sesuatu yang sia-sia. Toh pada akhirnya, para plagiator tetap bergentayangan dimana-mana dan melahirkan anak haram-anak haram hantu yang sulit terlihat kasat mata.
Gunung Kelua, 16 Mei 2013.