Menjelang penetapan RUU Pilkada pada tanggal 25 September 2014 mendatang, perdebatan apakah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dilakukan secara langsung atau melalui DPRD, masih terus berlanjut. Bahkan dibeberapa kesempatan, baik pihak yang pro maupun kontra, cenderung mengarah kepada sinisme politik. Sinisme yang hanya mengukur isu RUU Pilkada semata-mata hanya milik 2 (dua) kubu besar yang sedang memperebutkan pengaruh kekuasaan di parlemen. Ini bukan pertarungan lanjutan pasca Pemilihan Presiden (Pilpres) antara kubu Jokowi dan Prabowo. Bukan pula sekedar tarik ulur kepentingan antara pihak koalisi merah putih vs pihak koalisi revolusi mental. Tetapi, perdebatan tentang Pilkada langsung dan tidak langsung, seharusnya ditempatkan sebagai persoalan bersama. Persoalan yang menyangkut masa depan demokrasi di Indonesia.
Elitisme Isu
RUU Pilkada merupakan salah satu agenda legislasi DPR yang sudah melalui pembahasan yang cukup panjang. Namun pembahasan RUU Pilkada menjadi pusat perhatian publik ketika sikap fraksi-fraksi di DPR terpecah menjadi 2 (dua) kubu, sebagian mendukung secara langsung, dan sebagian lainnya menginginkan agar dikembalikan ke DPRD. Dalam catatan Pansus RUU Pilkada, pada bulan Januari hinga bulan Mei 2014, sikap seluruh fraksi di DPR masih bulat menyatakan setuju agar Pilkada dilakukan secara langsung. Namun sikap sebagian fraksi seketika berubah pasca pemilihan presiden 9 Juli 2014. Perubahan sikap ini sangat erat kaitannya dengan hasil pemilihan presiden yang memenangkan Jokowi sebagai Presiden terpilih. Artinya, isu dan perdebatan mengenai RUU Pilkada yang begitu hangat diberbagai media, cenderung dibangun secara top-down. Tidak melibatkan partisipasi rakyat secara luas dan terbuka. Atas dasar ini pula, isu RUU Pilkada dicap terlalu elitis atau hanya menjadi konsumsi elit-elit politik yang ada diparlemen saja.
Elitisme isu ini pada akhirnya membangun stigma yang tidak sehat. Mereka yang setuju untuk mempertahakan Pilkada agar tetap dilakukan secara langsung, cenderung dicap sebagai bagian dari kubu koalisi revolusi mental Jokowi. Sebaliknya, mereka yang menginginkan agar Pilkada dikembalikan ke DPRD, dicap sebagai bagian dari koalisi merah putih Prabowo. Dikotomi inilah yang harus dibuang terlebih dahulu jika ingin membangun perspektif aturan Pilkada yang objektif dan memihak kepentingan rakyat secara luas. Isu RUU Pilkada harus ditempatkan sebagai persoalan bersama yang tidak hanya dikunci diruang elit, tetapi harus ditarik dan digeser menjadi ruang publik. Untuk itu, proses pembahasan RUU Pilkada tidak boleh tidak, harus melibatkan partisipasi rakyat. Artinya, penetapan RUU Pilkada harus mempertimbangan kritikan dan masukan dari beragam pemangku kepentingan (stakeholders), baik dari kalangan pemerintahan sendiri, pakar, tokoh, pegiat demokrasi, organisasi non-pemerintah maupun rakyat secara terbuka sebagai representasi dari masyarat sipil (civil society).
Keniscayaan Demokrasi
Pilkada merupakan sarana perwujudan demokrasi. Artinya, kedaulatan penuh berada ditangan rakyat, sebagaimana amanah Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), yang menyatakan bahwa, “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar“. Secara eksplisit, ketentuan tersebut dapat dimaknai bahwa rakyat-lah yang harus diberikan mandat untuk menentukan masa depan Bangsa ini, termasuk dalam memilih pemimpinnya sendiri. Hal ini sejalan dengan Pasal 25 huruf b International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), yang menyebutkan bahwa, “Setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan, tanpa pembedaan dan tanpa pembatasan yang tidak layak, untuk memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang murni, dan dengan hak pilih yang universal dan sama, serta dilakukan melalui pemungutan suara secara rahasia untuk menjamin kebebasan menyatakan keinginan dari para pemilih“.
Untuk itu, pilkada secara langsung merupakan jaminan bagi setiap warga Negara untuk dapat menggunakan hak pilihya. Mengembalikan proses pilkada kepada DPRD, berarti memotong hak politik tersebut. Setidaknya terdapat 6 (enam) catatan, mengapa pilkada tetap harus dilakukan secara langsung. Hal ini sekaligus sebagai argumentasi bantahan bagi mereka yang menginginkan agar pilkada dikembalikan ke DPRD. Pertama, kita tidak boleh ahistori atau lupa terhadap perjalanan reformasi. Keberadaan UU 22 Tahun 1999 hingga lahirnya UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memiliki spirit untuk menjamin akses politik bagi rakyat ditingkat lokal. Artinya, ruang partisipasi politik harus dibuka luas agar rakyat tidak berjarak dengan pemimpinnya. Bahkan didalam naskah akademik RUU Pemerintahan Daerah pada tahun 2004, disebutkan bahwa dalam kurung waktu tahun 1999-2004, pemilihan oleh DPRD memunculkan problem kapasitas dan akseptabilitas. Kedua, ruang kritik publik terhadap pemimpin yang dianggap tidak amanah dan mencederai kepercayaan rakyat, menjadi teramputasi jika kepala daerah dipilih oleh DPRD. Secara empiris, satu-satunya cara untuk melancarkan kritik dan penghakiman terhadap pemimpin yang lalai menjalankan amanah rakyat adalah melalui pemilihan secara langsung.
Ketiga, alasan biaya mahal yang disandingkan dengan upaya penghematan anggaran hingga 41 triliun, tidak tepat untuk digunakan sebagai dasar mengembalikan pilkada ke DPRD. Biaya mahal selama ini bukanlah penyelenggaraan, akan tetapi lebih kepada kontestasi yang banyak menghabiskan biaya politik. Untuk itu, jawaban persoalan ini seharusnya lebih diarahkan dalam upaya perbaikan pengelolaan pemilu (electoral management). Keempat, tafsir konstitusi terhadap Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa kata “demokratis” tidak harus melalui pemilihan secara langsung, tidak berdasar. Dalam konteks Negara modern, terlebih Negara yang menjalankan sistem demokrasi seperti Indonesia, pemilihan secara langsung oleh rakyat adalah perwujudan kedaulatan di tangan rakyat. Demokrasi perwakilan yang tersimbolisasi melalui pemilihan anggota DPRD, memiliki dimensi yang berbeda dengan pemilihan kepala daerah. Bahkan tafsir terhadap Sila ke-4 Pancasila mengenai “permusyawaratan/Perwakilan“, tidaklah ditujukan dalam hal memilih pemimpin. Namun dalam makna merumuskan dan menetapkan kebijakan Negara dan Pemerintahan.
Kelima, pilkada ditangan DPRD tentu saja akan semakin menyuburkan politik transaksional dan politik dinasti. Menurut data Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, sebanyak 322 dari 524 Kepala Daerah terjerat korupsi, dan politik dinasti terjadi di 57 daerah. Keenam, dalam praktek sistem pemilu, tidak satupun Negara didunia ini yang berbeda antara sistem pemilihan ditingkat nasional dan sistem pemilihan ditingkat daerah. Maka menjadi anomali jika presiden dipilih langsung, sedangkan kepala daerah dipilih DPRD. Namun secara keseluruhan, pilkada langsung yang berlaku selama ini, bukannya tanpa kekurangan. Namun solusi jalan pintas dengan mengembalikan pilkada ke DPRD, juga tidak bijak. Justru kekurangan tersebut harus kita perbaiki bersama. Sebagian bagian penutup, tulisan ini sekali lagi ingin menegaskan bahwa soal setuju atau tidak dengan Pilkada langsung, bukanlah sebuah pilihan. Tetapi menjadi keniscayaan yang tidak bisa kita tolak. Pilkada langsung adalah konsekuensi atas pilihan demokrasi sebagai perwujudan kedaulatan rakyat.
Tulisan ini sebelumnya dimuat di Koran Harian Tribun Kaltim, 22 September 2014.