X

Perang Tagar, Persekusi, dan Kewarasan Kita

Tagar 2019 Ganti Presiden. Sumber Gambar : detik.com.

Perang tagar antara 2 (dua) kubu yang berbeda pilihan politik, kini makin meluas terjadi dihampir setiap daerah. Kedua kubu hampir setiap hari bersahut-sahutan di media cetak maupun elektronik. Namun perang tagar yang paling ramai tetap saja di media sosial (medsos). Satu kelompok getol mengkampanyekan tagar #2019GantiPresiden, sementara kelompok lain tak kalah getol dengan mengusung tagar #2019TetapJokowi dan sejenisnya. Adalah hal yang lumrah dan tidak ada masalah dengan kampanye kedua kubu ini, sebab negara menjamin penuh kebebasan setiap warga negara untuk menyampaikan pendapatnya dimuka umum. Namun perang tagar yang awalnya nampak biasa-biasa saja, kini nampak tidak terkendali. Situasi kemudian mulai berubah ketika kedua kubu saling melontarkan cacian dan hujatan kebencian satu sama lain. Tidak ada ide dan gagasan yang ditawarkan, tetapi permusuhan diantara keduanya. Akal sehat dan kewarasan kian tergerus, yang ada fanatisme membabi buta. Adu kuat diantara kedua kubu justru yang berusaha ditonjolkan.

Situasi menjadi makin parah ketika perang tagar yang tadinya hanya terjadi di dunia maya, kini berpindah tempat ke dunia nyata. Saling hadang dan jegal dilakukan satu sama lain. Kubu yang berada dipihak petahana, bahkan menyebut tagar #2019GantiPresiden sebagai bagian dari gerakan “makar“. Tuduhan ini jelas merupakan reaksi berlebihan, sebab terlalu jauh untuk disebut makar. Kata “aanslag” harusnya dimaknai sebagai “serangan”, yakni upaya aktif untuk merebut kekuasaan yang sah. Sementara tagar #2019GantiPresiden tidak lebih dari sejedar wujud ekspresi. Pun demikian dengan tagar #2019TetapJokowi dan sejenisnya. Itu merupakan hal yang biasa saja sebagai wujud ekspresi dukungan kepada petahana. Parahnya lagi, perang tagar ini berbuah tindakan fisik oleh satu kubu terhadap kubu lainnya. Di Samarinda misalnya, beredar video dimana sekelompok orang beridentitas tagar #2019GantiPresiden, diintimidasi agar aksinya segera dihentikan. Konon tindakan tersebut dilakukan oleh beberapa oknum anggota DPRD. Ini jelas sudah di luar batas. Bagaimana mungkin kebebasan berekspresi dilawan dengan tindakan intimidasi?

Setidaknya terdapat 2 (dua) alasan pokok mengapa tindakan intimidasi ini tidak dapat dibenarkan oleh kita yang masih memiliki kewarasan. Pertama, kebebasan berekspresi harus dijamin oleh Negara. Terhadap siapapun yang berusaha menghalang-halangi pemenuhan hak tersebut, maka negara seharusnya berada pada garda terdepan untuk memastikan hak tersebut terpenuhi. Bukan justru mendiamkan upaya intimidasi tersebut. Harus kita pahami, bahwa kebebasan berpendapat merupakan hak dasar yang dijamin dalam konstitusi dasar negara kita, yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945 (UUD 1945). Dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 secara eksplisit menegaskan bahwa, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat“.

Kedua, tindakan intimidasi ini bisa dikategorikan sebagai tindakan “persekusi” atau “main hakim sendiri” (eigenrichting). Sebagai negara hukum (rechtstaat), maka segala macam dugaan peristiwa “pelanggaran hukum”, seharusnya juga diselesaikan melalui koridor hukum yang ada, bukan dengan cara main hakim sendiri. Jika tindakan main hakim sendiri ini dilakukan, maka dapat dikenakan delik pidana pengancaman, penganiayaan atau pengeroyokan. Kubu tagar #2019GantiPresiden inikan hanya menyampaikan pendapat, mereka bukan penjahat. Kecuali mereka sudah melakukan tindakan pelanggaran hukum, baru bisa diproses. Itupun tidak boleh dengan main hakim sendiri. Jadi, seharusnya perbedaan pendapat itu dihadapi dengan akal sehat. Dihadapi secara seimbang, apple to apple. Pendapat semestinya dihadapi juga dengan pendapat, diskursus dihadapi dengan diskursus pula, bukan dengan tindakan fisik dan intimidasi. Melakukan tindakan intimidasi terhadap mereka yang berbeda pendapat dengan kita, adalah bentuk ketidakwarasan.

Tulisan ini sebelumnya sudah dimuat di Koran Harian Kaltim Post, edisi Senin 17 September 2018.

Categories: Hukum dan Korupsi
Tags: HukumMedia SosialPemiluPersekusiTagar