Mahkamah Agung (MA) telah mengeluarkan putusan kasasi mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq (LHI). Dalam putusan tersebut, hukuman LHI diperberat dari 16 tahun menjadi 18 tahun penjara. Disamping itu, LHI juga diberikan hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik. Putusan kasasi LHI ini merupakan langkah maju yang dilakukan oleh institusi peradilan kita. Secara umum, setidaknya terdapat 2 (dua) hal pokok yang dapat kita petik dari putusan kasasi LHI tersebut.
Pertama, hukuman LHI yang diperberat menjadi 18 tahun penjara, merupakan salah satu vonis hukuman yang dapat dikategorikan berat, mengingat rata-rata hukuman bagi koruptor di Indonesia masih tergolong ringan. Putusan MA ini tentu saja patut diapresiasi, terlebih disaat institusi peradilan butuh untuk mengembalikan kepercayaan publik. Kedua, hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik LHI, adalah langkah progresif yang dilakukan oleh MA. Putusan ini tentu saja dapat menjadi yurisprudensi bagi hakim dan lembaga peradilan dibawahnya untuk menjatuhkan hukuman yang sama.
Baca juga : Jejak Sejarah Korupsi Di Indonesia.
Korupsi Politik
Secara prinsip, dalam banyak kasus, korupsi politik memiliki dampak yang sangat luas dibandingkan korupsi yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki posisi politik tertentu. Korupsi politik memiliki korelasi langsung dengan kekuasaan, sebab tokoh utama dari korupsi politik adalah subjek hukum yang miliki kekuasaan, mandat ataupun kewenangan. Menurut Artidjo Alkostar, korupsi politik mengindikasikan ada penyalahgunaan amanat, mandat, kewenangan yang dipercayakan oleh rakyat selaku pemegang kekuasaan tertinggi didalam negara demokrasi. Korupsi politik dilakukan oleh pelaku dengan menyalahgunakan kewenangan, sarana dan kesempatan yang melekat kepada kedudukan dan posisi sosial politik yang ada padanya. Penyalahgunaan posisi strategis pelaku korupsi politik berdampak pada bidang politik, ekonomi, hukum dan pendidikan sosial yang negatif bagi rakyat (Sumber : Jurnal Hukum).
Dalam kasus LHI, posisi penting yang dipegangnya, baik sebagai anggota DPR maupun sebagai ketua partai politik, dianggap telah memperdagangkan pengaruh (trading in influence) sehingga mempengaruhi kebijakan impor daging. Tindakan LHI ini merupakan manifestasi dari korupsi politik. Bahkan Artidjo Alkostar, ketua majelis hakim MA yang memutus kasasi LHI menyebutkan bahwa, hubungan transaksional yang dilakukan mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera itu dengan pengusaha sapi merupakan korupsi politik. Posisi LHI yang memegang kekuasaan politik inilah yang dianggap sebagai skema kejahatan serius (serious crime) (Sumber : Kompas).
Disaat perkara korupsi ini berlangsung, LHI tidak dapat dipisahkan dari posisi politiknya baik sebagai anggota DPR maupun sebagai ketua partai. LHI dianggap menggunakan posisi politiknya untuk mempengaruhi atau berusaha mengatur skema kebijakan impor daging. Lebih parahnya lagi, posisi LHI sebagai ketua partai, telah menggiring opini publik yang cenderung ikut menuding partai LHI turut menikmati hasilnya. Hal serupa juga dapat kita lihat pada kasus Anas Urbaningrum dan Nazaruddin yang tidak dapat dipisahkan dengan kapasitasnya sebagai ketua dan bendahara Partai Demokrat.
Efek Jera
Salah satu perdebatan yang tidak kunjung usai dalam upaya pemberantasan korupsi adalah perihal hukuman yang dapat memberikan efek jera. Hingga saat ini, hukuman bagi terpidana korupsi dianggap masih terlalu ringan dan tidak member efek jera. Menurut data Indonesia Corruption Wacth (ICW), sepanjang semester I Tahun 2014 ini, terdapat 210 perkara korupsi, dengan 261 terdakwa. Dari 261 terdakwa tersebut, sebanyak, 242 orang atau 92,7 persen diantaranya divonis bersalah, dan 19 terdakwa atau 7,27 persen bahkan dinyatakan bebas. Jika dilihat dari sisi hukumannya, vonis majelis hakim dinilai kurang memberi efek jera.
Hal tersebut dikarenakan sebanyak 195 terdakwa atau 74,7 persen hanya dihukum dalam rentang satu hingga empat tahun penjara saja. Sedangkan 43 terdakwa atau 16,4 persen divonis sedang, dan hanya 4 terdakwa atau 1,5 persen yang divonis berat termasuk salah satunya vonis seumur hidup (Sumber : Tribunnews). Namun pada intinya, upaya memberikan efek jera terhadap koruptor, tidak semata-mata ditentukan oleh tinggi rendahnya hukuman. Akan tetapi, juga harus mempertimbangkan aspek lain seperti hukuman sosial dan politik. Salah satunya adalah upaya pembatasan atau pencabutan hak politik bagi para koruptor.
Pencabutan hak politik merupakan kategori pidana tambahan yang diperbolehkan dalam sistem hukum pidana Indonesia. Hukuman tambahan ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 10 huruf a angka 1 yang menyebutkan bahwa pidana tambahan dapat berupa “pencabuatan hak-hak tertentu”. Hak tertentu yang dimaksud dapat berupa hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu yang diatur dalam Pasal 35 ayat (1) angka 1 KUHP, atau hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 35 ayat (1) angka 3 KUHP.
Selain KUHP, pencabuatan hak tertentu bagi koruptor juga dikuatkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada pasal 18 ayat (1) huruf d ditegaskan bahwa, “Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana”. Dengan demikian, maka dasar atau landasan pencabutan hak politik bagi terpidana korupsi, sesungguhnya sudah cukup memadai. Pada akhirnya, tinggal bagaimana keberanian hakim secara progresif untuk memutuskannya.
Gunung Kelua, 18 September 2014.
Leave a Reply