Everyone has the right to take part in the government of his country, directly or through freely chosen representatives (Setiap orang berhak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan negerinya, secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih dengan bebas). Demikian bunyi Pasal 21 ayat (1) Deklarasi Umum Hak-Hak Asasi Manusia. Ketentuan ini semakian diperkuat dalam Pasal 28D ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyebutkan bahwa, Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah Negara telah memastikan hak tersebut terpenuhi dengan baik?
Polemik kemudian muncul ketika penyelenggara pemilihan umum, dalam hal ini KPU, menetapkan syarat calon presiden dan wakil presiden yang tertuang dalam Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2014 tentang Pencalonan Dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Dalam Pasal 10 huruf q peraturan tersebut, disebutkan bahwa salah satu syarat Calon Presiden dan Wakil Presiden adalah bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam G.30.S/PKI (Sumber : Kompas). Sebagian besar kalangan menganggap syarat ini bertentangan dengan hak konstitusional warga Negara.
Diskriminasi Politik
Diskriminasi merujuk kepada perlakuan yang tidak adil terhadap individu tertentu. Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik suku, antar golongan, kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau karateristik lain, maka disaat itu pula tindakan diskriminasi sedang dipertontonkan (Sumber : Wikipedia). Peraturan KPU yang mensyaratkan calon presiden dan wakil presiden harus bebas dari keanggotaan PKI maupun simpatisannya, jelas merupakan bentuk diskriminasi terhadap hak politik warga Negara. Dan yang paling menggelikan, tindakan diskriminasi ini justru dilakukan oleh Negara, pihak yang seharusnya bertanggung jawab untuk memastikan hak tersebut terpenuhi.
Pemilihan umum sebagai sarana perwujudan demokrasi, tidak seharusnya tercoreng dengan adanya pembatasan hak partisipasi politik warga Negara. Ketentuan dalam peraturan KPU tersebut sudah tidak relevan dalam menumbuhkan budaya demokrasi, khususnya dalam makna kebebasan berekpresi dan berpendapat. Apalagi sebelumnya Mahkamah Konsitusi melalui putusan dengan Perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003, telah memulihkan hak-hak dasar untuk dipilih dan memilih bagi orang-orang yang selama dituding sebagai eks anggota PKI maupun simpatisannya (Sumber : Mahkamah Konsitusi RI). Dalam putusan MK yang dibacakan dalam rapat pleno terbuka pada tanggal 24 Februari 2004 tersebut, dinyatakan bahwa Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dalam Pasal 25 huruf b Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, ditegaskan bahwa setiap warga negara memiliki hak dan kesempatan tanpa pembedaan, termasuk untuk memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang murni, dan dengan hak pilih yang universal dan sama, serta dilakukan melalui pemungutan suara secara rahasia, menjamin kebebasan berekspresi dari kehendak pemilih. Tidak ada alasan secara prinsipil bagi Negara untuk membatasi hak politik eks anggota PKI dan simpatisannya. Untuk itu, Negara seharusnya menjamin pelaksanaan hak untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum, tanpa perlakuan yang diskriminatif bagi warga Negaranya.
Dampak Politik
Pembatasan hak politik dalam Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2014 yang merujuk dari Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, tentu saja mengandung konsekuensi terhadap hak partisipasi politik warga Negara. Setidaknya terdapat 5 (lima) dampak politik yang ditimbulkan akibat pembatasan hak politik tersebut. Pertama, penyelenggaraan pemilihan umum presiden dan wakil presiden akan menjadi cacat dalam makna “esensi demokrasi“. Hal tersebut dikarenakan prinsip pelaksanaan pemilihan umum yang partisipatif, adil, jujur, bebas dan berdasarkan kehendak Rakyat, tidak terpenuhi. Demokrasi seutuhnya harus mampu menjamin hak dasar masyarakat untuk memilih dan dipilih, tanpa adanya pembatasan.
Kedua, pembatasan hak politik akan menghalangi proses rekonsiliasi yang tengah terjadi dalam kehidupan politik di Negara kita. Upaya untuk menyembuhkan luka sejarah akibat peristiwa ditahun 1965, akan menemui hambatan. Diskriminasi politik, termasuk aturan-aturan yang membatasi hak politik setiap warga Negara, justru kian memperkeruh upaya rekonsiliasi yang dilakukan. Prinsipnya, rekonsiliasi hanya akan berjalan dengan baik jika berbagai bentuk aturan diskriminatif, dihapuskan terlebih dahulu.
Ketiga, stigma sosial terhadap eks anggota PKI maupun simpatisannya, tetap akan muncul dan berkembang ditengah masyarakat. Hal tersebut disebabkan oleh tetap dipertahankannya aturan-aturan yang membatasi hak politik mereka. Dengan demikian, sitgma buruk seperti pembunuh, pengacau, keji, tak bertuhan dan lain sebagainya, akan tetap dialamatkan kepada mereka tanpa ampun. Padahal secara hukum, mereka belum terbukti bersalah dihadapan pengadilan. Hal ini justru akan membangun pola pikir masyarakat yang tidak rasional dan objektif.
Keempat, konsistensi norma hukum akan terabaikan. Meskipun putusan Mahkamah Konsitusi tidak menguji langsung Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dan Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2014, namun seharusnya putusan MK tersebut dapat dijadikan acuan terhadap keseluruhan produk hukum yang dibuat. Jika Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD dan DPRD, tidak lagi membatasi hak politik eks anggota PKI dan simpatisannya, mengapa justru aturan pemilihan umum Calon Presiden dan Wakil Presiden, masih memberlakukan itu?
Kelima, paham, ideologi, agama dan segala sesuatu yang berhubungan gagasan itu tidak bisa dilarang dan dibatasi, apalagi dengan kekuatan fisik. Gagasan itu hidup dalam dan berumah dalam benak orang. Karl Marx sendiri sebagai patron ideoogi komunisme, menertawakan orang-orang yang menghantam mesjid dan menghantam gereja. Maka dari itu, melarang suatu paham, ideologi, agama, pikiran atau gagasan individu maupun kelompok, sama saja Negara telah menghadirkan kekerasan psikis terhadap warga Negaranya.
Sudah saatnya Negara melalui Pemerintah, termasuk KPU, meninjau ulang mengenai syarat calon Presiden dan Wakil Presiden yang membatasi hak politik Rakyat. Sebab pembatasan tersebut sama saja dengan pengingkaran hak politik warga negara, dan pelanggaran Hak Azasi Manusia sebagaimana yang telah dijamin oleh UUD NRI Tahun 1945.
Tulisan ini sebelumnya dimuat di Koran Harian Tribun Kaltim, 17 Mei 2014.