Masa jabatan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) secara ex-officio mengikuti masa jabatan anggota DPRD selama 5 tahun. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 36 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Kabupaten, Dan Kota (PP 12 Tahun 2018), yang menyebutkan bahwa, “Masa jabatan Pimpinan DPRD terhitung sejak tanggal pengucapan sumpah/janji pimpinan dan berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan keanggotaan DPRD”.
Namun demikian, terdapat empat keadaan dimana pimpinan DPRD berhenti dari jabatannya sebelum masa jabatannya berakhir, yakni jika ia meninggal dunia, mengundurkan diri sebagai pimpinan DPRD, diberhentikan sebagai anggota DPRD sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, atau diberhentikan sebagai pimpinan DPRD. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 36 ayat (2) PP 12 Tahun 2018 juncto Pasal 24 ayat (3) Peraturan DPRD Kalimantan Timur Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPRD Provinsi Kalimantan Timur (Peraturan DPRD Kaltim Nomor 1 Tahun 2020).
Dalam ketentuan Pasal 36 ayat (3) PP 12 Tahun 2018 juncto Pasal 24 ayat (4) Peraturan DPRD Kaltim Nomor 1 Tahun 2020, disebutkan secara eksplisit bahwa, pimpinan DPRD diberhentikan dalam dua kondisi. Pertama, melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik berdasarkan keputusan Badan Kehormatan. Dan Kedua, partai politik yang bersangkutan mengusulkan pemberhentian yang bersangkutan sebagai Pimpinan DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Jadi secara prinsip, partai politik memang memiliki landasan hukum untuk mengusulkan pemberhentian anggotanya sebagai pimpinan DPRD. Namun demikian, seharusnya partai politik juga harus punya alasan yang rationable dan memadai untuk mengganti anggotanya sebagai pimpinan DPRD. Sebab sejak saat partai politik mengusulkan anggotanya untuk diangkat menjadi pimpinan DPRD, maka sesungguhnya partai politik sudah menghibahkan anggotanya untuk kepentingan rakyat. Jadi ada hak publik yang mesti dipertimbangkan juga. Untuk itu, mesti jelas apa alasan penggantiannya.
Jika yang bersangkutan keberataan terhadap keputusan partai yang mengusulkan pemberhentiannya sebagai pimpinan DPRD, maka ini dikategorikan sebagai “perselisihan partai politik”. Penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol), secara eksplisit menyebutkan bahwa cakupan perselisihan Partai Politik meliputi : perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan, pelanggaran terhadap hak anggota Partai Politik, pemecatan tanpa alasan yang jelas, penyalahgunaan kewenangan, pertanggungjawaban keuangan, dan/atau “keberatan terhadap keputusan Partai Politik”.
Untuk itu, penyelesaian terhadap perselisihan ini harus dilakukan secara internal melalui “Mahkamah Partai Politik” dalam waktu 60 hari sebagaimana diatur dalam Pasal 32 UU Parpol. Terkecuali jika penyelesaian perselisihan tidak tercapai, maka proses berikutnya diserahkan kepada pengadilan negeri (PN) untuk paling lama 60 hari. Putusan PN merupakan putusan ditingkat pertama dan terakhir, dan hanya dapat diajukan kasasi paling lama 30 hari (Lihat Pasal 33 UU Parpol).
Inilah proses formil yang harus ditempuh sebelum pemberhentian pimpinan DPRD dilakukan dalam rapat paripurna untuk ditetapkan melalui Keputusan DPRD. Jika proses penyelesaian perselisihan tersebut tidak dilakukan melalui mekanisme yang disebutkan di atas, dan DPRD nantinya tetap bersikeras menetapkan keputusan pemberhentian tersebut, maka keputusan itu rentan digugat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dan konsekuensinya adalah, keputusan DPRD tersebut lemah dalam hal argumentasi prosedural.
Catatan pendek ini sebelumnya sudah dimuat di Tribun Kaltim dan Kaltim Today. Sumber gambar : 3D Warehouse.
Leave a Reply