Isu pentingnya partisipasi publik, sudah seringkali disampaikan oleh para akademisi dan gerakan masyarakat sipil. Bahkan hingga mulut mereka berbusa-busa. Sampai saat inipun, tuntutan partisipasi publik ini terus digemakan oleh berbagai kalangan. Anehnya, negara dan segala aparaturnya seperti bergeming. Seolah abai dengan pentingnya partisipasi publik ini. Dalam banyak kasus, Pemerintah dan DPR sebagai pembentuk Undang-Undang, bahkan cenderung “tidak butuh” partisipasi publik. Mereka menggunakan “kacamata kuda”, yang enggan menolah kiri dan kanan. Tuntutan, kritik, dan protes, masuk telinga kiri, keluar telinga kanan. Ibarat kacang lupa dengan kulitnya, para elit politik mengemis meminta suara saat musim pemilihan umum (Pemilu), tapi menutup mata dan telinga setelahnya. Partisipasi publik dihargai sekedar sekali dalam lima tahun. Mitos yang seolah dipelihara hingga saat ini.
Isu partisipasi publik, memang dipandang sebelah mata oleh para elit politik. Disamping partisipasi publik yang belum bersifat “legal norm”, yang tidak memiliki konsekuensi hukum “langsung” jika diabaikan[1], klaim terhadap keseluruhan proses pengambilan kebijakan, juga menjadi monopoli para elit. Publik dikesampingkan, dilupakan dalam segala hal. Bahkan sudah menjadi kebiasaan untuk memutuskan sesuatu tanpa mendengar pendapat publik. Mereka lupa, jika partisipasi publik tidak hanya soal “legitimasi”, namun partisipasi publik ini juga merupakan hak yang dijamin oleh konstitusi. Dalam ketentuan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 misalnya, menyebutkan secara eksplisit bahwa, “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”. Artinya, partisipasi publik adalah mandatory konstitusi, oleh karenanya wajib untuk dilaksanakan.
Partisipasi Manipulatif
Mungkin negara dan aparaturnya merasa telah melibatkan publik dalam setiap pengambilan keputusan. Tapi kita sulit percaya, sebab faktanya jikalaupun ada kalangan yang diklaim dilibatkan, mereka adalah yang sejak awal setuju dengan keputusan itu. Mereka pilah pilih alias “cherry picking”, melibatkan mereka yang sejak awal setuju, namun mengabaikan sebaliknya. Ini adalah bentuk partisipasi yang “manipulatif”, yakni partisipasi yang tidak lebih dari sekedar “mitos” dan penuh dengan kepura-puraan. Hal tersebut membuktikan jika gagasan partisipasi itu tidak dipahami dengan baik. Secara teoritik, gagasan partisipasi sendiri cukup beragam. Namun salah satu yang seringkali dikutip untuk menggambarkan makna partisipasi ini, adalah apa yang diuraikan oleh Sherry R. Arnstein. Dalam artikelnya yang berjudul, “A Ladder of Citizen Participation”[2], Arnstein menguraikan dengan baik tentang lapisan partisipasi yang ia sebut sebagai delapan anak tangga partisipasi.
Menurut Arnstein, anak tangga partisipasi paling bawah adalah adalah (1) Manipulation dan (2) Therapy. Keduanya menggambarkan tingkat “non-partisipasi” yang sengaja dirancang oleh untuk mengaburkan partisipasi sejati[3]. Anak tangga berikutnya adalah (3) Informing dan (4) Consultation, maju ke tingkat “tokenisme” yang memungkinkan mereka yang tidak punya untuk mendengar dan bersuara[4]. Sementara anak tangga (5) Placation, hanyalah tingkat yang lebih tinggi “tokenisme” karena aturan dasar memungkinkan orang miskin untuk menasihati, tetapi pada akhirnya kekuasaan yang menentukan hasil akhirnya[5]. Anak tangga selanjutnya adalah (6) Partnership yang memungkinkan mereka untuk bernegosiasi dan terlibat dalam pertukaran dengan pemegang kekuasaan tradisional[6]. Sedangkan anak tangga paling atas adalah (7) Delegated Power dan (8) Citizen Control, dimana warga negara yang tidak memiliki mayoritas kursi dalam pengambilan keputusan, namun dapat terlebih secara penuh dalam menentukan keputusan-keputusan penting[7]. Berdasarkan perspektif Arnstein ini, wujud partisipasi kita masih bersifat manipulatif. Partisipasi yang tidak lebih dari sekedar mitos!
Partisipasi Sejati
Sebagai sebuah kewajiban, partisipasi publik harus terus didorong maju. Sebab abai terhadap amanat konstitusi, sama dengan menginjak-injaknya. Untuk membawa republik ini bergerak maju, butuh partisipasi luas dari seluruh warga negara. Alih-alih membuka ruang partisipasi, para elit politik justru menutupnya rapat-rapat. Partisipasi publik, terutama dalam bentuk protes dan kritik, selalu dianggap benalu. Dicap tukang rusuh yang membahayakan. Lagi-lagi ini sesat pikir dari para elit politik. Partisipasi hanya menjadi semacam “gimik” kekuasaan. Padahal Mahkamah Konstitusi sendiri sudah membuat semacam milestone terhadap konsep partisipasi bermakana (meaningfull participation) yang menetapkan 3 syarat, yakni : Pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard). Kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered). Dan Ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained)[8]. Dalam setiap pengambilan keputusan apapun, ketiga syarat ini wajib dilaksanakan untuk disebut sebagai partisipasi yang bermakna.
Kita juga tidak bisa berharap ruang partisipasi lahir begitu saja. Partisipasi bukan pemberian atau hadiah. Partisipasi juga tidak turun dari langit. Selain menuntut negara menjamin ketersediaan ruang partisipasi itu, perjuangan secara aktif mewujudkannya juga harus dilakukan secara simultan. Dalam konteks Pemilu misalnya, partisipasi publik tidak semata-mata diukur hanya dari kehadiran pemilih di bilik suara sekali dalam 5 tahun. Partisipasi kita tidak pasif. Ia harus terus menggerak untuk mencapai bentuk terbaiknya. Manipulasi partisipasi harus dibongkar. Oleh karena itu, publik mesti terus mengaktifkan insting pengawasaannya terhadap kekuasaan. Kritik harus digelorakan agar keputusan-keputusan penting tidak menjadi monopoli para elit politik. Kendali atas keputusan, harus direbut secara perlahan. Hanya dengan cara itulah, partisipasi publik dapat diwujudkan. Sebab partisipasi yang sejati, adalah partisipasi yang lahir dari keringat rakyat sendiri!! Partisipasi yang tidak sekedar mitos, tapi betul-betul lahir dan berkembang biak dari rahim rakyat. Bukan hadiah dari para elit politik!
Tulisan ini sebelumnya sudah dimuat di Koran Harian Kaltim Post, edisi Jumat 1 Maret 2024.
[1] Bandingkan dengan “hak informasi publik” yang jika diabaikan, bahkan bisa berkonsekuensi pidana.
[2] Sherry R. Arnstein. 1969. A Ladder Of Citizen Participation. Journal of the American Institute of Planners, 35:4, 216-224, DOI: 10.1080/01944366908977225. Diakses pada tanggal 20 Februari 2024 Pukul 10.15 Wita.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91
Leave a Reply