Sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) untuk Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) akan dibacakan pada tanggal 22 April 2024 mendatang. Saat ini, Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) tengah berlangsung. Banyak pihak yang memprediksi, RPH tersebut berlangsung alot. Terlebih Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri mengambil keputusan untuk mempersilahkan kepada para pemohon, termohon, dan pihak terkait, untuk menyampaikan kesimpulan. Hal yang selama ini tidak lazim dalam PHPU. Dalam RPH ini, 8 orang hakim MK (tanpa Anwar Usman), akan memutuskan hasil perkara PHPU Pilpres ini. Lantas seperti apa putusan MK? Apakah MK akan menolak permohonan para pemohon atau justru mengabulkannya?
Cukup banyak kalangan yang berharap MK tidak menggunakan kacamata kuda dalam memutus perkara PHPU Pilres ini. Artinya, MK tidak bisa hanya bersandar kepada perolehan hasil semata. Namun juga melihat proses Pemilu ini dari hulu ke hilir secara substantif. Dan itu hanya bisa terjadi jika MK mengaktifkan fungsi aktivisme peradilannya, atau apa yang sering disebut juga sebagai “judicial activism”. Merujuk apa yang dijelaskan secara sederhana oleh Richard Posner, judicial activism merupakan bentuk penggunaan kekuasaan kehakiman untuk mempertanyakan (second-guess) penentuan kebijakan cabang-cabang kekuasaan non-yudisial”[1]. Dalam konteks PHPU Pilpres ini, judicial activisme bermakna MK keluar dari tempurung sengketa yang hanya dibatasi oleh perolehan angka-angka, dan secara progresif memotret apakah Pilpres ini betul-betul telah merepresentasikan nilai keadilan secara substantif atau tidak.
Amar Putusan
Dalam ketentuan Pasal 53 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2023 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden (PMK Nomor 4 Tahun 2023), terdapat 3 bentuk amar putusan MK, yakni : Pertama, dalam hal permohonan dan/atau pemohon tidak memenuhi ketentuan formil, maka amar putusan akan, “menyatakan permohonan tidak dapat diterima”. Kedua, dalam hal pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum, maka amar putusan, “menyatakan menolak permohonan pemohon”. Dan Ketiga, dalam hal pokok permohonan beralasan menurut hukum, amar putusan, “menyatakan mengabulkan permohonan pemohon”, oleh karenanya Mahkamah “membatalkan penetapan perolehan suara hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden oleh termohon dan menetapkan hasil penghitungan perolehan suara yang benar”.
Namun demikian, tetap terbuka menambahkan opsi lain di luar 3 bentuk amar putusan tersebut. Hal ini ditegaskan dalam ketentuan Pasal 53 ayat (2) PMK Nomor 4 Tahun 2023 yang menyatakan bahwa, “Dalam hal dipandang perlu, Mahkamah dapat menambahkan amar selain yang ditentukan”. Pertanyaannya, hal lain apa yang dipandang perlu sebagai tambahan amar putusan dalam perkara ini? Opsinya beragam, sangat bergantung urgensi terhadap proses dan hasil Pilres. Mahkamah bisa saja menambahkan amar yang berkaitan dengan perbaikan Pilres dimasa mendatang. Sebagai contoh, larangan pemberian bansos mendekati hari H pemungutan suara Pilres. Hal ini untuk mencegah poltisasi bansos untuk memenangkan calon tertentu. Namun demikian, semua bergantung dari dinamika dalam RPH. Proses RPH ini diprediksi berlangsut alot. Bahkan diperkirakan putusan ini tidak akan bulat diantara para hakim. Akan ada hakim yang disenting opinion (pendapat berbeda) atau concuring opinion (alasan berbeda).
Skema Putusan
Secara garis besar, terdapat beberapa skema putusan MK dalam perkara ini. Pertama, menolak permohonan para pemohon. Jika pilihan ini yang diambil, artinya MK tidak bisa keluar dari pakem prosedural yang hanya bicara soal angka-angka perolehan suara dalam pemilu. Tentu ini di luar ekspektasi publik. Kedua, secara tegas mendiskualifikasi pasangan Prabowo-Gibran. Resikonya tentu sangat besar secara politik. Namun jika pilihan ini beralasan menurut hukum, maka MK seharusnya tidak perlu ragu, apapun resiko politik yang akan terjadi. Sebab pertaruhan nilai-nilai keadilan dalam pemilu (electoral justice) dan kepercayaan publik (public trust), jauh lebih penting di atas segalanya. Jika ada pertanyaan soal implikasi teknis pasca putusan ini, semua bisa diperhitungkan oleh KPU. Toh pelantikan presiden terpilih masih hingga bulan oktober 2024. Artinya, KPU masih punya cukup waktu untuk menggelar pemungutan suara ulang. Terlebih ini hanya Pilpres semata yang infrastruktur dan resource-nya tidak sebesar jika digabung dengan Pemilu Legislatif.
Ketiga, mempertimbangkan untuk mendiskualifikasi Gibran, karena dianggap tidak memenuhi syarat sebagai calon wakil presiden. Artinya, prabowo dilantik sebagai Presiden tanpa wakil Presiden. Dan kekosongan wakil ini akan merujuk pada ketentuan Pasal 8 ayat (2) UUD 1945, dimana jika terjadi kekosongan, maka selambat-lambatnya 60 hari, MPR harus segera bersidang untuk memilih wakil Presiden dari 2 calon yang diusulkan Presiden. Namun opsi ini rasanya di luar batas penalaran, sebab diskualifikasi Gibran, bermakna diskualifiasi juga terhadap Prabowo sebagai satu kesatuan pasangan calon. Ibarat pasangan pemain ganda dalam permainan bulutangkis yang memenangkan kejuaraan, jika satu orang yang terkbuti menggunakan doping, maka ex-officio kemenangan satu pasangan tersebut dinyatakan batal. Tidak bisa hanya satu orang mengangkat medali. Lagi-lagi pilihan-pilihan ini kembali kepada majelis hakim MK, apakah tunduk terhadap penalaran yang rasional, atau tunduk dan kalah oleh besarnya tekanan politik. Pulihnya kepercayaan publik, sangat bergantung pada putusan MK terhadap hasil sengketa PHPU Pilres ini!!
Tulisan ini sebelumnya sudah dimuat di Koran Harian Kaltim Post, edisi Selasa 8 April 2024.
[1] Peter M. Shane. 2000. Federalism’s Old Deal: What’s Right and Wrong with Conservative Judicial Activism. Villanova Law Review, Volume 45, Issue 2. Page.225.
Leave a Reply