Kegaduhan politik kembali terjadi dalam proses tahapan pencalonan Pemilihan Kepada Daerah (PILKADA) di Indonesia. Hingga batas akhir pendaftaran yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada tanggal 28 Juli 2015, terdapat 13 Daerah yang memiliki kurang dari 2 calon. 12 Daerah yang memiliki satu calon tunggal, yakni Kabupaten Asahan, Serang, Tasikmalaya, Purbalingga, Surabaya, Blitar, Pacitan, Mataram, Minahasa Selatan, Pegunungan Arfak, Timur Tengah Utara dan Samarinda. Sedangkan satu daerah yang tidak memiliki satu pasangan calon yakni Bolaang Mongondow Timur.
Walhasil, KPU pada akhirnya memperpanjang masa pendaftaran selama 3 hari yakni tanggal 1-3 Agustus 2015. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 89 ayat (1) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 12 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Dan/Atau Walikota Dan Wakil Walikota, yang menyatakan bahwa, “Dalam hal sampai dengan akhir masa pendaftaran Pasangan Calon hanya terdapat 1 (satu) Pasangan Calon atau tidak ada Pasangan Calon yang mendaftar, KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota memperpanjang masa pendaftaran Pasangan Calon paling lama 3 (tiga) hari”.
Pertanyaannya adalah, jika pasangan calon tetap kurang dari 2 hingga akhir masa perpanjangan pendaftaran, apa konsekuensi hukum dan resiko politik yang harus ditanggung? Beragam solusi ditawarkan oleh berbagai pihak, mulai dari penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU), hingga tetap menunda proses Pilkada hingga dua tahun mendatang. Tulisan ini akan mengupas aspek hukum sekaligus sisi politik penyebab kegaduhan ini, sekaligus mencoba memberikan jalan keluar.
Minimnya Calon
Minimnya calon dalam proses PILKADA menjadi tanda tanya besar bagi sistem demokrasi kita. Setidaknya terdapat beberapa analisa, mengapa 13 Daerah Kabupaten/Kota hanya memiliki kurang dari 2 pasangan calon. Pertama, gagalnya mesin Partai Politik dalam mencetak kader terbaik yang akan dipersiapkan untuk mengisi pos-pos penting struktur pemerintahan. Hal ini menandakan proses kaderisasi yang tidak berjalan secara maksimal, baik didalam maupun diluar organisasinya. Partai Politik terkesan enggan mengelaborasi kemampuannya untuk memberikan pendidikan politik (political education) secara efisien dan efektif kepada masyarakat. Memang ukuran keberhasilan Partai Politik tidak hanya diukur dari banyaknya calon semata. Tetapi minimnya calon yang berkompetisi, menandakan ada yang salah dari tanggung jawab Partai Politik dalam meciptakan kader-kader yang kompeten.
Kedua, pusaran kepentingan yang merasa diuntungkan dengan keberadaan calon tunggal dalam PILKADA, sehingga baik secara sengaja atau tidak sengaja berkehendak untuk menciptakan situasi untuk membiarkan calon tunggal terjadi. Sebagai contoh, pasangan Tri Rismaharini-Wisnu Sakti Buana di Surabaya. Kemungkinan karena tingkat elektabilitas yang tinggi dari pasangan ini, maka bakal calon lain enggan bertarung secara terbuka sehingga lebih memilih mundur dari proses pencalonan. Konsekuensinya, penundaan hingga Pilkada serentak berikutnya (baca : 2 tahun), akan menguntungkan bagi dirinya karena memiliki cukup waktu untuk membangun kepercayaan publik sebagai modal pertarungan berikutnya.
Ketiga, ketatnya persyaratan pencalonan. Hal ini mengakibatkan dinamika politik tidak berjalan akibat minimnya calon yang terkendala syarat administratif. Tidak hanya bagi calon yang diusulkan Partai Politik maupun gabungan Partai Politik, tetapi juga calon yang berasal dari perseorangan. Ketentuan yang mensyarakatkan minimal 20 % suara dari jumlah kursi DPRD dan 25 % dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu, berpotensi menimbulkan calon tunggal akibat politik transaksional dari gabungan Partai Politik. Sedangkan bagi calon perseorangan, presentase dukungan suara juga dinilai cukup memberatkan. Syarat minimal suara yang diatura dalam Pasal 41ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 jo. Pasal 10 ayat (1) PKPU Nomor 9 Tahun 2015, berakibat sulitnya calon perseorangan memenuhi syarat administratif yang ditentukan.
Jalan Keluar
Minimnya calon dalam Pilkada, tentu saja membutuhkan jalan keluar dengan resiko politik yang tidak terlalu besar. Boleh saja kita menawarkan “bumbu kosong” agar calon tunggal tetap dilegitimasi dalam PILKADA. Atau mungkin ada pihak yang memaksakan kompromi politik memalui “calon boneka” yang sekedar turut ramai dalam proses demokrasi ini. Tetapi kedua hal tersebut justru akan merusak esensi demokrasi dan menciderai edukasi politik bagi masyarakat. Setidaknya, terdapat 2 opsi yang patut dipertimbangkan.
Pertama, penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU). Namun terdapat 2 persoalan terkait penerbitan PERPPU ini, yakni apakah syarat kegentingan yang memaksa terpenuhi dan apa yang akan diatur dalam PERPPU tersebut? Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, setidaknya ada 3 syarat kegentingan yang memaksa, yakni Pertama, kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang. Kedua, adanya kekosongan hukum atau produk hukum yang sudah ada belum memadai. Dan ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang karena akan memerlukan waktu yang cukup lama. Secara prinsip, jika memang benar hanya 13 daerah dari total 269 daerah yang memiliki pasangan calon kurang dari 2 pada akhir masa perpajangan pendaftaran, maka hal tersebut belum bisa dikatakan sebagai kebutuhan mendesak. Sedangkan menyangkut hal yang akan diatur, jika memang PERPPU ini harus diterbitkan, maka hal yang diatur bukanlah legitimasi terhadap calon tunggal. Tetapi sebaiknya mengatur mengenai suara dukungan minimal bagi calon independen.
Kedua, Jika hingga akhir masa perpanjangan pendaftaran, pasangan calon tetap kurang dari 2 atau tidak ada pasangan calon sama sekali, maka konsekuensinya seluruh tahapan pemilihan harus ditunda hingga pemilihan serentak berikutnya. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 89 ayat (4) PKPU Nomor 12 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas PKPU Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Dan/Atau Walikota Dan Wakil Walikota. Artinya, jika pasangan calon tetap kurang dari 2 hingga akhir masa perpanjangan pendaftaran, maka Pilkada akan dilaksanakan pada tahun 2017 mendatang. Namun untuk mengatasi kekosongan masa jabatan pemerintahan hingga 2 tahun mendatang, maka Menteri Dalam Negeri harus segera membuat Peraturan terkait dengan kewenangan Pejabat Sementara (PJS), sehingga keputusan strategis tetap dapat diambil dan dilaksanakan. Secara yuridis, opsi inilah yang paling memungkinkan untuk dilakukan dengan resiko politik yang tidak terlalu besar, dan juga sekaligus memberikan kesempatan bagi daerah yang ditunda untuk memperbaiki sistem demokrasi dan politik didaerahnya masing-masing selama 2 tahun kedepan.
Tulisan ini sebelumnya dimuat di Koran Harian Tribun Kaltim, Edisi Senin 3 Agustus 2015.
Leave a Reply