Paul Joseph Goebbels, mendiang menteri propaganda Nazi di zaman Hitler, memperkenalkan dengan baik teknik propaganda yang disebut “Argentum ad nausem”, atau yang lebih dikenal istilah teknik Big Lie (kebohongan besar)[1]. Prinsip utama dari teknik propaganda tersebut adalah, menyebarluaskan berita bohong melalui media massa sesering dan sebanyak mungkin hingga kemudian kebohongan tersebut dianggap sebagai suatu kebenaran. Sangat mirip dengan apa yang pernah dilakukan oleh rezim Orde Baru Soeharto, terutama dengan apa yang dilakukannya terhadap upaya memutarbalikkan fakta sejarah. Dan teknik ini, cenderung kembali dipergunakan oleh Pemerintahan SBY-Boediono, termasuk dibidang penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.
Baca juga : Jejak Sejarah Korupsi Di Indonesia.
Pemerintahan SBY, seakan terus menonjolkan keberhasilan pemberantasan korupsi di era kekuasannya, dibanding pemerintahan sebelumnya. Namun justru menjadi paradoks, sebab propaganda klaim keberhasilan tersebut masih digembar-gemborkan, bahkan ditengah kian banyaknya kasus-kasus korupsi yang membuat timpang sistem penegakan hukum kita. Salah satunya adalah kasus Gayus Halomoan Tambunan. Mantan pegawai Dirjen Pajak ini, telah memporak-porandakan mata rantai sistem penegakan hukum kita, mulai dari pengacara, jaksa, polisi, hakim hingga pewagai Pajak dan Imigrasi. Gayus diketahui keluar masuk tahanan dengan sebebasnya, bahkan hingga ke Singapura dan Macao. Ini jelas merupakan tragedi memalukan, dan telah mencoreng wajah hukum di bawah rezim SBY.
Lantas apakah ini hanya semata-mata menjadi tanggung jawab kepolisian yang membiarkan Gayus plesiran kemana-mana? Tentu saja tidak. Ini merupakan bagian dari tanggung jawab Rezim SBY, yang gagal menjalankan komitmen pemberantasan korupsi sesuai dengan keinginan Rakyat Indonesia. Rezim disini merujuk kepada keseluruhan sistem dan perangkat roda pemerintahan, bukan semata-mata hanya SBY secara personal. Namun demikian, SBY sebagai orang nomor satu dinegeri ini, tetap menjadi pemegang sah dari keseluruhan tanggung jawab pemberantasan korupsi. Ibarat pikiran, sebagai roh yang menentukan kemana tangan dan kaki hendak melangkah, maka SBY-lah yang memiliki peran besar untuk menentukan cara dan upaya pemberantasan korupsi. Gagal tidaknya proses tersebut, terletak dari seberapa kuat komitmen dan tindakan SBY.
Retorika Menyesatkan
Korupsi sudah menjadi penyakit kronis, yang tentu saja tidak mudah untuk menyembuhkannya. Ibarat seorang Dokter yang hendak menyembuhkan pasien, maka ketepatan dalam melakukan diagnosa serta mengurai sumber penyakit, adalah tahap awal (first step) yang harus dilakukan. Selanjutnya sang Dokter tentu saja harus mendalami dampak dan akibat penyakit, yang pada akhirnya dituntut untuk memutuskan obat yang tepat bagi si pasien. Akan tetapi, faktor yang tidak kalah penting adalah keberanian dalam mengambil keputusan. Bersikap ragu dan gamang, justru membuka peluang titik kesalahan baru, dan bahkan akan memperlambat proses penyembuhan[2]. Begitu pula dengan pemberantasan korupsi, dimana tidak hanya tingkat pemahaman dari hulu ke hilir yang dibutuhkan. Namun lebih dari itu, komitmen kuat dan tindakan politik (political action), adalah aspek penting yang sangat dibutuhkan saat ini. Bukan hanya sekedar retorika dari mulut manis, sebagaimana yang telah dipertontonkan oleh Rezim SBY selama ini.
Indonesian Corruption Watch (ICW) mencatat, bahwa selama setahun pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu II, dari 34 pernyataan SBY terkait pemberantasan korupsi, 50 persen atau 17 pernyataan mendukung pemberantasan korupsi. Dari 50 persen pernyataan SBY yang mendukung pemberantasan korupsi tersebut, hanya 24 persen yang terealisasi atau sekitar 4 pernyataan saja. Sedangkan sisanya, yakni 13 pernyataan atau 76 persennya, gagal direalisasikan[3]. Dari fakta ini dapat kita tarik kesimpulan bahwa, Rezim SBY memang cenderung terlalu banyak menggunalan kepandaiannya dalam berbicara. Namun gagal mensinergiskan antara ucapan dan tindakan dalam hal pemberantasan korupsi.
Membobol Politik Pecitraan
Pencitraan, demikian teknik yang ditonjolkan oleh Rezim SBY, untuk mempertahankan harapan (expectation) Rakyat terhadap pemerintahannya hingga saat ini. Ciri umum dari politik pencitraan ini tergambar jelas dari beberapa aspek tindakan politiknya yang terekam oleh media, antara lain : Pertama, selalu menonjolkan keberhasilan. Kita masih ingat, bagaimana Satgas Pemberantasan Mafia Hukum menyatroni sel tahanan Artalyta Suryani (Ayin) yang super wah. Tapi hari ini, justru Ayin telah menghirup udara bebas melalui proses pembebasan bersyarat setelah menjalani 2/3 masa tahanan. Bukankah ini menjadi suatu hal yang bertolak belakangan dengan komitmen pemberantasan korupsi yang selalu digembar-gemborkan? Kedua, cenderung menutup rapat ketidakmampuan dihadapan publik. Permasalahan Gayus misalnya, dimana SBY cenderung menuding pihak kepolisian sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. Padahal kita tahu, bahwa kepolisian merupakan badan yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. Yang berarti secara otomatis (ex-officio), Rezim SBY-lah yang memiliki tanggung jawab utama carut marutnya kegagalan penanganan kasus Gayus tersebut. Dan Ketiga, terlampau bersikap reaksioner atau cenderung emosional ketika mendapatkan kritikan. Ini bisa kita lihat dari sikap Rezim SBY, yang ketika mendapatkan lontaran kritikan dari beragam pihak, pasti akan bersikap defensif dengan berjuta alasan pembelaan diri. Inilah aspek penting yang dijalankan oleh Rezim SBY dalam upaya pemberantasan korupsi. Terlihat bagaimana retorika politik dalam upaya pencitraan ini lebih menonjol, dibandingkan dengan upaya kongkrit dan nyata. Dalam kacamata masyarakat, terkadang hasil jauh lebih penting sebagai kesimpulan akhir untuk menilai keberhasilan.
Dari apa yang dipaparkan sebelumnya, kita tentu berharap bahwa Rezim SBY segera menghentikan retorika pemberantasan korupsi yang menjadi kegemarannya. Sudah saatnya komitmen itu diterjemahkan secara kongkrit dan nyata. Sebab pemberantasan korupsi mustahil untuk dilakukan hanya dengan sebatasa retorika semata.
Tulisan ini dimuat di Harian Jogja, Sabtu 5 Februari 2011