X

Lonceng Kematian KPK

Badai terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak kunjung usai. Belum berhenti ingatan publik terhadap upaya “kriminalisasi” yang menimpa komisioner dan penyidik KPK, kini muncul upaya “Pembunuhan KPK” melalui usulan Rancangan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK). RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut, merupakan RUU yang diinisiasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan telah ditetapkan menjadi agenda prioritas program legislasi nasional pada tahun 2015 ini.

Sejumlah pasal-pasal krusial didalam RUU KPK ini dianggap sebagai tindakan pembunuhan terhadap KPK. Dimulai dari pembatasan usia lembaga anti rasuah tersebut, hingga pemangkasan kewenangan-kewenangan khusus yang selama ini dimiliki oleh KPK. Tak pelak, RUU KPK tersebut menuai kritik dari dari berbagai kalangan. Kritik tersebut bukan tanpa alasan. Beberapa klausul dalam RUU KPK tersebut dianggap sebagai lonceng kematian yang akan membunuh masa depan KPK secara perlahan.

Pasal Pembunuh

Dalam pasal 5 RUU KPK, disebutkan bahwa “Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk untuk masa waktu 12 tahun sejak undang-undang ini diundangkan“. Frase “untuk masa waktu 12 tahun” menandakan adanya pembatasan usia KPK. Pertanyaannya adalah, apa landasan dirumuskannya usia KPK dalam RUU tersebut? Secara prinsip, sesungguhnya pembatasan usia KPK tidak dapat dirumuskan dalam produk UU. Setidaknya terdapat 4 (empat) alasan yang mendasari hal tersebut.

Baca juga : Jejak Sejarah Korupsi Di Indonesia.

Pertama, alasan sosiologis. Usia KPK tidak dapat dirumuskan dalam UU secara matematis. Artinya, keberadaan (existence) KPK tidak dapat ditentukan dalam hitungan waktu, tetapi berdasarkan situasi dan kondisi. Dinamika perkembangan masyarakat, khususnya dalam hal praktek korupsi-lah, yang menjadi dasar keberadaan KPK. Selama korupsi tetap ada, maka semumur itu pula keberadaan KPK . Sepanjang Indonesia belum terbebas dari praktik korupsi, maka sepanjang itu pula KPK harus hadir dan berada di garda terdepan (vanguard) dalam urusan pemberantasan korupsi. Membatasi usia KPK, sama saja dengan membunuh KPK, yang juga berarti membunuh masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Kedua, alasan sifat kelembagaan. Dalam dasar pertimbangan butir b Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disebutkan salah satu alasan berdirinya KPK sebagai berikut “bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi“. Artinya, selain menjalankan tugas pokoknya, KPK juga memiliki fungsi sebagai pemicu (trigger) agar lembaga lain dapat berjalan secara efektif dan efisien. Dengan demikian, KPK ditasbihkan untuk mengawal lembaga-lembaga tersebut sampai kapanpun dan tanpa dibatasi oleh waktu. Pun demikian dengan anggapan KPK sebagai lembaga “ad hoc”. Harus dipahami bahwa “ad hoc” disini tidak ditentukan dari usia atau masa berlakunya, tetapi dari situasi dan kondisilah yang menentukan sifat “ad hoc” tersebut.

Ketiga, alasan historis. KPK adalah lembaga warisan reformasi yang berdiri diatas tujuan dan harapan bangsa Indonesia. Hal ini yang tidak boleh kita lupakan. Dalam TAP MPR Nomor VII Tahun 2001 disebutkan bahwa dasar berdirinya KPK adalah untuk melakukan upaya pemberantasan dan pencegahan korupsi, kolusi dan nepotisme. Dalam TAP MPR tersebut, sama sekali tidak disebutkan berapa lama usia dan sampai kapan KPK akan berdiri. Dengan demikian, RUU KPK yang membatasi usia KPK selama 12 tahun, adalah pengingkaran terhadap TAP MPR tersebut. Terlebih lagi, secara hierarki, kedudukan TAP MPR berada lebih tinggi dari UU. Artinya, jika sebuah UU mengatur hal yang bertentangan dengan peraturan diatasnya, maka produk UU tersebut dapat diabaikan. Sebab peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi atau dikenal dengan prinsip lex superior derogat legi inferiori.

Keempat, alasan prestasi. KPK memiliki prestasi yang mentereng dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Sepanjang tahun 2015 ini saja, KPK masih menangani kasus yang terdiri dari 49 perkara ditahap penyelidikan, 28 perkara ditahap penyidikan, 26 perkara ditahap penuntutan, 15 perkara yang berkekuatan hukum tetap (inkracht) dan 20 perkara ditahap eksekusi. Jika dihitung dari tahun 2004 hingga tahun 2015, KPK telah menyelidik 714 perkara, menyidik 437 perkara, menuntut 353 perkara, 298 perkara yang telah inkracht dan 315 perkara yang telah dieksekusi. KPK bahkan mampu menyelamatkan uang Negara sebesar 249 triliun sejak keberadaannya ditahun 2004 silam. Apakah fakta ini tidak cukup untuk tetap mempertahankan KPK?

Mengebiri Kewenangan

Disamping pembatasan usia, RUU KPK juga dianggap kian mengebiri tugas dan kewenangan KPK. Berikut adalah beberapa hal krusial yang dianggap melemahkan KPK dalam RUU KPK tersebut. Pertama, kewenangan penuntutan. KPK praktis hanya diberikan kewenangan penyelidikan dan penyidikan saja. Dalam Pasal 7 huruf d RUU KPK tersebut disebutkan bahwa, “KPK mempunyai tugas untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang ini dan/atau penanganannya diKepolisian dan/atau kejaksaan mengalami hambatan karena campur tangan dari pemegang kekuasaan, baik eksekutif, yudikatif atau legislatif”. Dalam RUU KPK ini, kewenangan penuntutan hanya dilakukan oleh Jaksa sebagaimana disebutkan pada Pasal 53 ayat (1). Ini jelas jauh dari kaidah sebuah lembaga pemicu (trigger) seperti KPK, dimana sistem dari hulu ke hilir pemberantasan korupsi seharusnya tetap terintegrasi.

Kedua, kewenangan penyadapan. Dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a RUU KPK, disebutkan bahwa, “KPK berwenang untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan setelah ditemukan bukti permulaan yang cukup dengan izin Ketua Pengadilan Negeri”. Selama ini, kewenangan penyadapan adalah “mahkota” KPK yang dianggap sangat efektif dalam membongkar perkara korupsi. Kewenangan penyadapan ini juga merupakan kewenangan khusus (lex specialis) yang seharusnya dijalankan oleh KPK tanpa seizin pengadilan.

Maka adalah hal yang wajar jika publik menganggap RUU KPK sebagai lonceng kematian KPK. Liang kubur bagi semangat pemberantasan korupsi di Indonesia. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak menolak RUU KPK yang diinisiasi DPR ini. Kita tidak boleh abai terhadap warisan reformasi dan ingkar terhadap kehendak rakyat. Kehendak yang tetap membutuhkan lembaga bernama KPK yang mampu menghadirkan kepercayaan yang tidak dimiliki lembaga lain.

Tulisan ini sebelumnya dimuat di Koran Harian Tribun Kaltim, Edisi Selasa, 13 Oktober 2015.

Categories: Hukum dan Korupsi
Tags: HukumKorupsiKPKRUU KPK