Berdasarkan laporan “Statistik Utang Luar Negeri Indonesia” yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, jumlah utang luar negeri Indonesia diposisi bulan Februari Tahun 2014, telah mencapai angka USD 272,1 Millar, atau tumbuh sekitar 7,4 persen (yoy) dibandingkan dengan posisi di bulan yang sama pada tahun 2013 (Sumber : Bank Indonesia). Jika mengacu kurs rupiah pada kisaran Rp.11.418 per USD, maka total utang luar negeri Indonesia telah mencapai angka Rp. 3.106,837 triliun. Utang luar negeri tersebut bertambah sekitar Rp. 27,060 Trilyun dibandingkan bulan Januari Tahun 2014. Jika total utang luar negeri tersebut dibagi dengan jumlah penduduk Indonesia yang kini mencapai 237.641.326 jiwa (Sumber : Badan Pusat Statistik), maka masyarakat Indonesia harus menanggung beban utang sebesar Rp. 13,073 juta perkepala.
Kesalahan Berpikir
Dalam sebuah kesempatan, Menteri Koordinator Perekonomian, Hatta Rajasa melontarkan pernyataan bahwa, “Semakin besar utang yang dimiliki Negara, justru kian bertambah baik di mata para lembaga maupun negara pendonor alias pemberi utang” (Sumber : Tribunnews). Pemerintah terkesan ingin menggunakan logika, bahwa semakin banyak utang semakin baik, Indonesia bakal dinilai semakin mampu melakukan pembayaran utang. Pernyataan tersebut sungguh tidak tepat, jika melihat akibat dan dampak beban utang yang dirasakan selama ini. Ungkapan ini justru akan menjerumuskan kita dalam kesalahan berpikir. Kita membutuhkan argumentasi yang lebih dari sekedar alasan menyenangkan lembaga ataupun Negara-negara pendonor.
Dalam sebuah laporan yang berjudul, “Debt Impact Study : An Analysis of New York State’s Debt Burden”, Thomas P. DiNapoli dari pengawas Negara bagian New York, menyebutkan bahwa, kapasitas utang adalah sumber daya terbatas. Terlalu mengandalkan pinjaman dapat mengganggu kemampuan pemerintah untuk merespon kekurangan pendapatan atau tekanan fiskal (Sumber : Office of the State Comptroller). Lebih lanjut, DiNapoli menegaskan bahwa beban utang yang tinggi dapat merusak operasi pemerintah karena utang bersifat tetap, yakni biaya jangka panjang yang tidak dapat dengan mudah dikurangi selama masa tekanan fiskal tersebut. Pernyataan DiNapoli, sesungguhnya menguatkan pandangan bahwa utang sejatinya tidak memberikan dampak positif yang signifikan terhadap pembangunan. Bahkan di Negara maju seperti Amerika sekalipun.
Strategi ekonomi yang mengandalkan pendekatan utang, tidak lebih dari solusi jangka pendek (sementara) yang cenderung menggampangkan persoalan dan tidak mempertimbangkan resiko yang akan dihadapi dimasa mendatang. Sesungguhnya strategi ini sudah terbukti gagal. Coba saja tengok bagaimana strategi utang ini, telah meluluh lantahkan bangunan ekonomi Indonesia dimasa rezim Orde Baru, yang berujung kepada krisis ditahun 1997. Strategi utang telah menjerumuskan Negara kita kedalam kebangkrutan ekonomi yang berdampak luas terhadap semua sektor kehidupan. Dan pada akhirnya, rakyat Indonesia-lah yang harus menanggung beban utang yang sesungguhnya tidak pernah dinikmati.
Ketergantungan
Utang harus diakui telah meruntuhkan kemandirian Negara kita. Bak tangan terikat, Indonesia sulit untuk menentukan kebijakan ekonomi dan politik sendiri. Berbagai kebijakan disektor ekonomi, tidak lebih dari titipan dan tekanan dari lembaga ataupun Negara-negara pendonor. Setidaknya terdapat 5 (lima) alasan mendasar mengapa utang dianggap sebagai ancaman mematikan bagi negara-negara pengutang, termasuk Indonesia (Sumber : Harian Jogja). Pertama, utang yang notabene diberikan oleh negara-negara maju melalui lembaga keuangan internasional seperti IMF, merupakan cara dan pintu masuk mereka untuk menjajah negara-negara kaya sumber daya alam, seperti Indonesia.
Kedua, utang merupakan senjata politik negara-negara maju seperti Amerika, untuk menguasai dan mendikte negara-negara pengutang. Melalui utang, akan lebih mudah bagi mereka untuk mengatur dan mengontrol ekonomi negara pengutang, berdasarkan kepentingannya semata. Utang yang pada hakekatnya ditujukan untuk membantu perekonomian negara-negara miskin dan berkembang, ternyata hanya sebagai kedok negara maju. Ketiga, utang tentu saja tidak diberikan cuma-cuma. Setiap utang yang diberikan, selalui disertai dengan sejumlah syarat ini dan itu, tergantung dari kemauan dan kepentingan negara-negara maju.
Keempat, utang yang diberikan dalam bentuk mata uang Dollar. Sehingga posisi negara pengutang sangatlah dirugikan. Kurs Dollar yang sedang mengalami penguatan dipasar internasional, tentu saja memaksa negara pengutang untuk menyesuaikan utang-utangnya bersarkan kurs dollar tersebut. Kelima, utang yang dipinjam oleh negara-negara pengutang, selama ini cenderung hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Mereka yang duduk ditampuk kekuasaan, menjadi utang sebagai sasaran korupsi yang empuk. Sementara disisi lain, justru rakyat yang terus dikorbankan untuk menanggung beban utang tersebut.
Pada bagian akhir artikel ini, penulis ingin menegaskan bahwa Indonesia kini telah benar-benar mengalami kutukan dalam wujud penjajahan secara ekonomi dan politik. Dan kutukan itu bernama “utang”. Kutukan yang telah mengerus kemandirian dan mengubur mimpi kesejahteraan Rakyat. Ibarat budak dinegeri sendiri, Indonesia sekali lagi tak ubahnya seperti pelayan bagi Bangsa lain, yang tidak mampu mandiri secara ekonomi dan berdaulat secara politik. Pada titik ini, adalah benar pernyataan Pramoedya Ananta Toer, “Dan alangkah indahnya kehidupan tanpa merangkak-rangkak di hadapan orang lain”. Kehidupan yang menjadi tujuan Bangsa Indonesia sejak merdeka. Namun sayang, tak mampu diwujudkan dengan baik oleh Negara dan Pemerintah.
Tulisan ini sebelumnya dimuat di Koran Harian Tribun Kaltim, 24 April 2014.