“Ilmu tidak boleh menjadi kesukaan diri sendiri. Mereka yang beruntung mampu mencurahkan dirinya kepada pengudian ilmu, harus yang pertama-tama menempatkan pengetahuan mereka untuk mengabdi umat manusia. Bekerjalah untuk umat manusia”. (Karl Marx)[1]
Demikian pesan Marx kepada para ilmuwan, bahwa sesungguhnya ilmu adalah urusan kemaslahatan umat manusia. Ilmu yang diarahkan hanya untuk mengabdi kepada kepentingan individu, adalah percuma. Apa yang dipaparkan oleh John Bellamy Foster, seorang Professor dari University of Oregon Amerika Serikat, dalam bukunya yang berjudul “Ekologi Marx, Materialisme dan Alam”, adalah sebuah terobosan baru dalam perspektif ilmu pengetahuan khususnya menyangkut alam dan lingkungan.
Ketika pertama kali membaca judul “Ekologi Marx”, benak saya menganggap buku ini terkesan sangat tendensius dan subjektif. Seakan ada upaya paksa dari Foster untuk mengaitkan antara ekologi dan Marxisme. Pemikiran ini didasari setidaknya 2 alasan, Pertama, minimnya literatur Marxisme yang secara vulgar membedah alam dan lingkungan. Kedua, latar belakang Foster sebagai seorang sosiolog marxis. Namun setelah memasuki alam ide yang tertuang dalam buku tersebut meski masih beberapa bagian saja, apa yang saya pikirkan akhirnya terbantahkan.
Perang diskursus atau wacana mungkin masih terbilang jarang dikalangan pemikir kita. Kebanyakan buah pikir diantara kita hanya berupa rekonstruksi pemikiran yang dikutip dan disaring lalu dibenarkan dari apa yang sudah pernah ada sebelumnya. Ada baiknya kita memulai perang wacana ini dari karya Foster tersebut. Wacana “ecocide” atau penghancuran alam sudah dikenal diabad 19, terutama pasca perang dunia. Namun foster melalui buku ini, telah memberikan perspektif keilmuan yang mendalam, sehingga pemikiran mengenai keterhubungan alam dan manusia mampu disajikan dengan baik di buku ini.
Foster berhasil memberikan panduan bagaimana kita melihat korelasi yang apik antara alam dan manusia, tanpa harus menegasikan salah satunya. Foster telah membalik tudingan terhadap marx yang dianggap sempit meletakkan pemikiran akan determinasi manusia terhadap alam. Banyak kalangan yang mengkritik Marx yang dianggap antipati terhadap alam. Hal tersebut tergambar dalam pemahaman bahwa, teori Marx melulu mengarah kepada penguasaan dan pemanfaatan alam oleh manusia.
Ada beberapa kritik pribadi saya, atau mungkin lebih tepatnya pertanyaan mendasar terhadap buku ini. Pertama, tanpa mengurangi rasa hormat, namun harus diakui bahwa buku ini merupakan buah pemikiran yang lahir dari orang yang berada dibelakang meja. Sebagai sebuah diskursus, kontribusi Foster harus diakui sangat luar biasa dalam buku ini. Akan tetapi, meminjam kalimat Nyoto, “jika ingin belajar bercocok tanam, maka belajarlah dari kaum tani, jangan dari tukang batu!”[2].
Untuk mengetahui dan memahami marxisme seutuhnya, maka belajarlah dari seorang marxis yang tidak hanya sekedar berada dibelakang meja, namun kenyang dengan praktek[3]. D.N. Aidit dalam suatu kesempatan ceramah didepan konferensi diplomat-diplomat RI untuk negara-negara Asia Afrika, pernah ditanya pendapatnya, bagaimana jika marxisme diajarkan di universitas-universitas? Jawab Aidit, “lebih baik jangan, kecuali jika yang mengajarnya orang marxis sendiri”[4].
Intinya, marxisme tidak hanya bicara tentang keadilan, namun bagaimana kita mencapai keadilan itu. Dalam hal ini, Nyoto menjelaskan bahwa, pertanyaan-pertanyaan fundamental dalam ilmu marxisme seperti “Apakah kemerdekaan itu?” Apakah kebenaran itu?” Apakah tujuan hidup semulia-mulianya?” akan dijawab secara yang sama, dibeberkan hakikatnya, ditunjukkan jalan mencapainya, dan diselenggarakan dalam praktek[5].
Kedua, Jika kita menyaksikan kerusakan alam secara telanjang, lantas apa dan bagaimana kita harus berbuat? Dengan alat serta metode seperti apa kita melakukannya? Inilah mungkin penjelasan yang hilang dari Bab per Bab yang dihadirkan oleh Foster dalam buku ini. Relasi ekonomi dan politik dalam buku ini, tidak dijelaskan secara terperinci, bahkan dapat dikatakan minim persinggungan sama sekali. Padahal memahami Marx, tentu saja selalu menyangkut 3 (tiga) aspek atau kompenen, yakni : filsafat, sejarah dan ekonomi politik.
Sebagaimana kata lenin, “Marxisme merupakan penerus yang sah dari beberapa pemikiran besar umatmanusia dalam abad ke-19, yang direpresentasikan oleh filsafat klasik Jerman, ekonomi-politik Inggris dan sosialisme Prancis”[6]. Untuk itu, marxisme dalam konteks ilmu pengetahuan tidak boleh dipahami secara sepenggal-sepenggal. Harus diletakkan dalam bingkai mata rantai keilmuan berdasarkan basis sejarah pemikirannya, yakni filsafat, ekonomi politik dan sosialisme sebagai buah prakteknya.
Ketiga, alam sejatinya memang harus berada dalam kendali manusia. Persoalannya adalah, manusia dengan tabiat bagaimana yang harus menguasai sehingga peruntukan dan pemanfaatan alam dapat berjalan dengan baik? Justru ini yang tidak spesifik dijawab oleh Foster. Ddibagian ke-5 halaman 155 buku ini tentang “Metabolisme dan Alam”, Foster memang menyebutkan bagaimana determinasi manusia terhadap alam. Foster berpendapat, “alam tidak membangun mesin, lokomotif, rel kereta api, telegram dll. Semua ini produk industri manusia; material alam ditransformasikan kepada alat-alat kehendak manusia atas alam, atau partisipasi manusia dalam alam”.
Prinsipnya, antara alam dan manusia tetap terjadi pola dialektis yang saling menaklukkan. Bukan dalam makna dikotomi diantara keduanya, namun lebih kepada makna saling membutuhkan satu sama lain secara intrinsik. Manusia tetap menjadi eksistensi yang tidak terelakkan dalam mengelola dan memanfaatkan alam. Persoalannya sebenarnya adalah, bagaimana bentuk pemanfaatannya dengan baik dan berkelanjutan serta melalui sistem kehidupan ekonomi dan politik bagaimana pemanfaatan ini dilakukan dengan bijak.
Bagian akhir tulisan singkat ini, saya ingin mengutip pandangan lenin, yang menyebutkan bahwa, “Marx mempertajam dan mengembangkan filsafat materialisme sepenuh-penuhnya, dan memperluas pemahaman mengenai alam sehingga bisa melibatkan, memasukan, pemahaman tentang masyarakat manusia ke dalam kognisi masyarakat. Materialisme historis Marx merupakan penemuan terbesar dalam pemikiran ilmiah. Kekacauan dan kesewenang-wenangan pandangan mengenai sejarah dan politik, yang muncul sebelumnya, digantikan oleh teori ilmiah yang (secara ketat) terpadu dan harmonis, sehingga bisa menunjukan bagaimana, sebagai akibat pertumbuhan tenaga-tenaga produktif, terbentuk lah sistim kehidupan sosial yang baru menggantikan yang lama”[7]. Pandangan lenin ini mempertegas bahwa Marx begitu sangat tajam melihat relasi alam, manusia dan kerja.
Apa yang lemah dari gagasan Foster dalam buku ini, khususnya menyangkut praktek dalam kehidupan nyata, seharusnya menjadi BAB selanjutnya yang harus kita selesaikan bersama. Persamaan-persamaan kondisi dan situasi dimana Foster memulai gagasan “Ekologi Marx” ini, tentu saja selalu ada disekitar kita. Tinggal bagaimana kita menemukannya dan mencoba menaklukkannya dengan apa yang disebut dengan “Kekhasan Indonesia”. Kita tidak harus menelan mentah-mentah gagasan Foster, pun tidah harus menarik garis demarkasi. Mari berjalan dengan metode berpikir dan analisis yang sama, namun dengan medan yang berbeda. Tulisan ini tentu saja jauh dari bingkai perdebatan panjang yang diharapkan. Akan tetapi dapat menjadi awalan diskursus bersama kita bersama.
Tulisan singkat ini disajikan sebagai pengantar diskusi dan bedah buku, “Ekologi Marx ; Materialisme dan Alam“, yang diselenggarakan oleh IMAPA Unmul di LT. 4 Rektorat Universitas Mulawarman.