X

KPK Menyerah?

Istilah Menyerah Tidak Ada Dalam Kamus Pemberantasan Korupsi. Sumber Foto : Merdeka.com

Kisruh kasus Budi Gunawan (BG) kini memasuki babak baru. Senin, 2/3/2014 pelaksana tugas Sementara pimpinan KPK Taufiqurrahman Ruki, melontarkan pernyataan “kalah“, bahkan bisa disebut “menyerah” dalam penanganan kasus BG. Pasca putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang diketuai Hakim Tunggal Sarpin Rizaldi, KPK memang hingga kini belum mengambil sikap terkait upaya hukum apa yang akan dilakukan selanjutnya. Namun menjadi “anomali” ketika sokongan mengalir dari berbagai pelosok tanah air terhadap KPK, Ruki justru menyarankan agar kasus BG dilimpahkan ke Kejaksaan Agung.

Bukan Solusi

Pergeseran sikap KPK dalam penanganan kasus BG, tentu saja mengundang pertanyaan dari publik. Apa sesungguhnya penyebab perubahan sikap KPK, dari sebelumnya begitu optimis, kini cenderung pesimis? Pernyataan Ruki yang akan melimpahkan kasus BG ke Kejagung, adalah langkah yang terkesai abai dengan proses yang selama ditempuh oleh KPK. Ini bukanlah solusi yang tepat, apalagi langkah tersebut cenderung tidak bulat diantara sesama pimpinan KPK, bahkan tidak didukung oleh pewagai KPK sendiri. Intinya, melimpahkan kasus BG kepada Kejagung, sama saja dengan mendorong mundur semangat pemberantasan korupsi yang selama ini mengalir deras dari berbagai kalangan.

Baca juga : Jejak Sejarah Korupsi Di Indonesia.

Celah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh KPK, pun bisa dikatakan masih terbuka lebar dengan beragam opsi. Pertama, upaya hukum luar biasa melalui Peninjauan Kembali (PK). Upaya PK ini dapat dilakukan atas dasar kekeliruan yang nyata dalam putusan praperadilan. Hal tersebut sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) khususnya pasal 263 ayat (2) butir c yang menyebutkan bahwa, “permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata“.

Kedua, mengajukan pembatalan putusan praperadilan ke Mahkamah Agung (MA). Berdasarkan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, MA berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap semua badan peradilan yang berada dibawahnya. KPK dapat memohon kepada MA agar putusan praperadilan BG dibatalkan dengan alasan hakim telah melampaui kewenangannya dengan memasukkan “penetapan tersangka” sebagai objek praperadilan. Padahal kita ketahui bahwa objek praperadilan diatur secara terbatas (limitatif) berdasarkan ketentuan Pasal 77 butir a dan b KUHAP. Disamping itu, opsi ini pernah diterapkan terhadap kasus korupsi proyek biomediasi PT. Chevron Pacific Indonesia atas tersangka Bachtiar Abdul Fatah. Saat itu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan juga menyatakan penetapan tersangka Bachtiar oleh Kejagung tidak sah. Walhasil MA membatalkan putusan praperadilan tersebut disertai penjatuhan sanksi penundaan kenaikan pangkar selama setahun kepada Suko Harsono, hakim tunggal yang menangani perkara tersebut.

Ketiga, peluang untuk melakukan upaya Kasasi di MA, tetap terbuka dan masih bisa dipertimbangkan oleh KPK. Meskipun dalam praperadilan tidak mengenal istilah “kasasi” berdasarkan ketentuan Pasal 45A ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung , namun untuk kasus seperti ini, MA pernah mengabulkan perkara yang sama. Terobosan MA yang saat itu masih dipimpin Baqir Manan, menerima permohonan tersangka kasus Newmont yang ketika itu mengajukan gugatan praperadilan atas penetapannya sebagai tersangka oleh penyidik Poliri, bukan penyidik Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).

Ketiga opsi inilah yang harusnya dipertimbangkan oleh KPK, dibanding dengan tergesa-gesa melimpahkan kasus BG kepada Kejagung. Sebab pelimpahan kasus ini kepada Kejagung bukanlah solusi tepat dan tidak menjawab optimisme publik. Bahkan bisa dikatakan langkah ini justru akan menjadi boomerang bagi KPK. Dimana publik berpontensi menarik dukungan dan kepercayaan terhadap KPK. Dan ini kekhawatiran yang tentu saja tidak kita inginkan bersama. KPK tetap harus membangun optimisme publik dengan tidak menggadaikan komitmen pemberantasan korupsi yang selama ini sudah mulai tertanam dan mengakar ditengah Rakyat Indonesia.

Menolak Kompromi

Pasca penetapan BG sebagai tersangka yang bersamaan dengan pengajuannya sebagai calon tunggal Kapolri, tidak bisa dipungkiri KPK mengalami hantaman “tanpa ampun“. Mulai dari upaya kriminalisasi terhadap Bambang Widjojanto dan Abraham Samad, pelaporan Adnan Pandu Praja serta Johan Budi, diungkitnya kembali kasus penyidik KPK Novel Baswedan, hingga ancaman terhadap 21 orang penyidik KPK dengan tuduhan kepemilikan senjata api illegal, adalah fakta bahwa telah terjadi upaya sistematis untuk melemahkan kinerja KPK dalam upaya pemberantasan korupsi.

Namun yang menarik dari beragam tekanan yang dialami olek KPK tersebut, adalah komitmen terhadap penanganan kasus BG. Termasuk dalam hal ini pernyataan Ruki yang akan melimpahkan kasus BG kepada Kejagung. Pernyataan yang menyebutkan bahwa hal tersebut adalah jalan tengah terbaik akibat tidak adanya istilah “penghentian penyidikan” dalam setiap kasus yang ditangani KPK, bukan berarti bahwa keputusan tersebut adalah langkap yang tepat. Hal tersebut tentu saja memberikan reaksi kekecewaan yang besar dari publik. Apalagi disertai dengan pernyataan “KPK Kalah“, yang tentu saja bisa bermakna semangat pemberantasan korupsi menjadi kendor.

Penting ditelisik, apa sesungguhnya makna dibalik keinginan untuk melimpahkan kasus BG kepada Kejagung. Padahal kasus BG merupakan kasus yang sudah cukup lama ditangani KPK dengan proses yang cukup panjang pula. Tidak hanya itu, kasus BG tersebut juga bermakna bahwa KPK serius dalam mengungkap kasus korupsi yang melibatkan lembaga penegak hokum ini agar mimpi Rakyat Indonesia tentang lembaga kepolisian yang kredibel dan terpercaya dapat tercapai. Namun pergeseran sikap KPK dalam kasus BG ini, suka tidak suka menimbulkan pertanyaan bahkan kecurigaan dimata publik.

Ada indikasi pergeseran sikap KPK tersebut, akibat adanya ruang kompromi terdahap kasus yang menimpa para pimpinan dan penyidiknya. Kemungkinan dan potensi kompromi tukar guling kasus ini bisa saja terjadi. BG diselamatkan, pimpinan dan penyidik KPK sebagai taruhannya. Pernyataan ini tidaklah bermaksud mendahului proses hokum yang sedang berjalan. Namun paling tidak, hal ini menjadi peringatan bagi KPK agar menolak setiap ruang kompromi yang justru menggadai komitmen pemberantasan korupsi. KPK tetap harus menjadi garda terdepan dalam upaya pemberantasan korupsi, tidak perduli dengan resiko apapun yang akan dihadapi. Sebab menyerah tidak ada dalam kamus pemberantasan korupsi. Rakyat Indonesia tentu tidak akan tinggal diam dan dalam situasi apapun akan memberikan sokongan sepenuhnya kepada KPK.

Tulisan ini sebelumnya dimuat di Koran Harian Kaltim Post Edisi Rabu 4 Maret 2015 Hal.2.

Categories: Hukum dan Korupsi
Tags: #SaveKPKHukumKorupsiKPK