Saat ini, Mahkamah Konstitusi (MK) sedang mengalami kondisi terburuk sepanjang sejarah sejak ia lahir dari rahim reformasi. MK tidak hanya sedang berusaha dipengaruhi, diganggu independensinya, ataupun dipolitisasi sesuai dengan kepentingan para elit politik, tapi MK juga sedang berusaha dikooptasi, diambil alih dengan cara menempatkan orang-orang yang sesuai dengan selera kekuasaan. Mereka yang tidak sejalan dengan jalan pikiran kekuasaan, akan dicopot dan disingkirkan dengan berbagai cara. Bukan hanya sekali dua kali. Namun upaya kooptasi ini dilakukan berkali-kali demi menyingkirkan mereka yang dianggap menghambat kepentingan kekuasaan. Parahnya, operasi penyingkiran ini dilakukan dengan cara-cara kotor!
Dalam berbagai macam literatur, kooptasi umumnya dimaknai sebagai upaya untuk mengambil alih kendali suatu organisasi. Merriam Webster mendefinisikan kooptasi sebagai pengambilalihan atau perampasan sesuatu untuk tujuan baru atau berbeda[1]. Sementara Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengartikan kooptasi sebagai proses pemilihan anggota baru dari suatu badan musyawarah oleh anggota yang telah ada[2]. Menurut Philip Selznick, kooptasi adalah proses menyerap unsur-unsur baru ke dalam kepemimpinan atau struktur penentu kebijakan suatu organisasi[3]. Jadi sederhananya, kooptasi merupakan upaya untuk mengambil alih suatu organisasi dengan menempatkan orang-orang tertentu dalam rangka mengendalikan kebijakan organisasi sepenuhnya.
Model Kooptasi
Secara garis besar, setidaknya terdapat 3 bentuk kooptasi terhadap MK yang terjadi selama ini, yaitu : Pertama, permainan usia. Ketentuan mengenai syarat usia hakim MK mengalami perubahan berkali-kali, bahkan dilakukan dalam kurun waktu yang relatif saling berdekatan. Sebelumnya, syarat usia hakim MK diatur sekurang-kurangnya 40 tahun (2003)[4]. Kemudian berubah menjadi paling rendah 47 tahun dan paling tinggi 65 tahun (2011)[5]. Dan kembali dirubah menjadi paling rendah 55 tahun (2020)[6]. Belum cukup 3 tahun, perubahan usia kembali diusulkan menjadi paling rendah 60 tahun dalam rencana revisi UU MK. Kita tidak menemukan penalaran hukum yang wajar (ratio legis) terhadap usulan tersebut. Menunjukkan betapa syahwat politik para pembentuk undang-undang (DPR dan Pemerintah) lebih dominan dibanding penalaran hukumnya. Ini jelas bertujuan untuk menyasar hakim-hakim MK yang berusia di bawah 60 tahun, terutama yang selama ini dianggap sulit didikte dan dikendalikan oleh kekuasaan.
Kedua, mengganti hakim di tengah masa jabatan (recall). Ini terjadi dalam kasus pergantian hakim Aswanto. Salah satu pertistiwa langka dimana hakim ditarik oleh lembaga pengusulnya. Mungkin satu-satunya di dunia. Alasannya-pun tidak masuk akal, hanya karena Aswanto termasuk hakim yang membatalkan UU Cipta Kerja. Oleh karena itu dianggap tidak sejalan dengan DPR dalam mengawal produk legislasi-nya. Ketiga, menempatkan orang-orang tertentu yang sejalan dengan jalan pikiran kekuasaan (placement). Sebagai contoh, keterpilihan Asrul Sani menjadi hakim MK yang menggantikan Wahiduddin Adams, menegaskan bentuk kooptasi DPR terhadap MK. Sebab proses seleksi yang dilakukan DPR cenderung terburu-buru, tidak transparan, non-partisipatif, dan mengandung benturan kepentingan, mengingat Asrul Sani sendiri adalah bagian dari DPR, yang notabene punya kepentingan langsung terhadap MK.
Melawan Kooptasi
Kooptasi terhadap MK, tentu saja harus kita lawan. Sebab bersikap diam, justru semakin meruntuhkan marwah dan martabat lembaga anak kandung reformasi ini. Upaya-upaya kekuasaan untuk mengendalikan MK, harus mendapatkan penolakan secara masif dan luas dari publik, terutama dari kelompok masyarakat sipil. Termasuk dari para kalangan akademisi dan para scholars yang peduli bukan hanya terhadap MK, tetapi juga terhadap perjuangan hak-hak konstitusional kita sebagai warga negara. Salah satu tugas mendesak kita adalah melancarkan penolakan terhadap upaya perubahan kembali terhadap UU MK yang sempat sedang digulirkan oleh DPR dan Pemerintah. Publik dengan mudah dapat menebak motif dibalik rencana perubahan UU MK tersebut, yakni kepentingan untuk mengamankan hasil Pemilu 2024, dimana MK akan bertindak sebagai pengadilnya. Dan rencana perubahan UU MK ini bertujun untuk memastikan agar hakim-hakim MK tunduk dan selaras dengan kehendak kekuasaan. Usulan perubahan ini tentu akan makin memperkuat kooptasi terhadap MK.
Publik tentu menghendaki perubahan UU MK, tapi bukan perubahan yang justru semakin memperkuat bentuk kooptasi kekuasaan terhadap MK. Penolakan terhadap perubahan UU MK ini, setidaknya didasari oleh 3 argumentasi pokok, yakni : Pertama, DPR dan Pemerintah, tidak boleh merubah UU MK, termasuk mengenai batas usia hakim MK tanpa alasan yang rasional, bertentangan dengan moralitas, non-partisipatif, intorable, dan sewenang-wenang (willekeur). Kedua, jikalaupun revisi UU MK tetap dipaksakan, maka norma di dalamnya tidak boleh diberlakukan terhadap hakim-hakim MK yang sedang menjabat sekarang. Ini ditegaskan MK dalam ratio decidendi atau pertimbangan putusan perkara nomor 81/PUU-XXI/2023 yang menyatakan bahwa, “bilamana pembentuk undang-undang berkehendak untuk mengubah persyaratan, maka perubahan tersebut haruslah diberlakukan bagi Hakim Konstitusi yang diangkat setelah undang-undang tersebut diubah”[7]. Ketiga, menolak istilah “persetujuan lembaga pengusul” dalam usulan perubahan UU MK. Hal ini justru menebalkan ruang intervensi dan kooptasi kekuasaan terhadap MK.
Tulisan ini sebelumnya sudah dimuat di Koran Harian Kaltim Post, edisi Jumat 15 Maret 2024.
[1] Sumber : https://www.merriam-webster.com/dictionary/co-optation. Diakses pada tanggal 30 November 2023 Pukul 09.05 Wita.
[2] Sumber : https://kbbi.web.id/kooptasi. Diakses pada tanggal 30 November 2023 Pukul 09.12 Wita.
[3] Philip Selznick. 1949. TVA and the Grass Roots. A Study in the Sociology of Formal Organization. Berkeley, Los Angeles: University of California Press. Page.259. Link Download : https://ia600704.us.archive.org/32/items/tvandgrassrootss00selzrich/tvandgrassrootss00selzrich.pdf. Diakses pada tanggal 30 November 2023 Pukul 10.15 Wita.
[4] Lihat Pasal 16 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
[5] Lihat Pasal 15 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
[6] Lihat Pasal 15 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
[7] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 81/PUU-XXI/2023 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, hlm.33.
Leave a Reply