Di tengah upaya kita untuk melawan pandemi Covid-19, DPRD Kaltim justru berencana untuk tetap membahas Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (Raperda RZWP3K). Konon, alasan utama kenapa pembahasan Raperda RZWP3K ini tetap dipaksakan, karena merupakan bagian dari fungsi legislasi DPRD yang harus terus dijalankan. Tapi mereka lupa, jika sesungguhnya tujuan legislasi adalah sepenuhnya untuk kepentingan rakyat.
Menurut Jeremy Bentham, kebaikan publik hendaknya menjadi tujuan legislator; manfaat umum menjadi landasan penalarannya. Mengetahui kebaikan sejati masyarakat adalah hal yang membentuk legislasi; ilmu tersebut tercapai dengan menemukan cara untuk merealisasikan kebaikan tersebut[1]. Pertanyaannya adalah, apakah Raperda RZWP3K ini adalah jawaban atas persoalan rakyat hari ini yang tengah berjuang melawan pandemi Covid-19? Apakah Raperda RZWP3K itu relevan dengan kebutuhan atas upaya penanganan pandemi Covid-19?
DPRD seharusnya fokus dengan upaya penanganan pandemi Covid-19. Untuk itu, tugas dan fungsi legislasi, anggaran, dan terutama pengawasan, semestinya juga diarahnya sepenuhnya untuk memastikan agar penanganan pandemi Covid-19 ini, sesuai dengan harapan masyarakat Kalimantan Timur. Karena itu, memaksakan pembahasan Raperda RZWP3K di tengah pandemi Covid-19 ini, membangun persepsi buruk dimata publik, “jangan-jangan Raperda RZWP3K ini adalah pesanan para tuan-tuan pemilik modal”.
Tidak ada makan siang gratis, demikian adagium yang lazim kita dengar untuk menggambarkan betapa pola kerja macam ini, mnyiratkan ada udang dibalik batu. Bagaimana mungkin anggota-anggota DPRD kita yang terhormat ini, justru menghabiskan waktu untuk tetap memaksakan pembahasan Raperda RZWP3K, di tengah rakyat sedang berjibaku untuk melawan pandemi Covid-19? Ada etika parlemen dalam tubuh DPRD yang harus dibenahi. Sebab mengerjakan hal lain di tengah rakyat yang sedang kesakitan, hanya akan melipatgandakan rasa sakit.
Tidak Taat Asas
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, anggota-anggota DPRD tidak hanya diwajibkan untuk taat terhadap norma-norma yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Tapi anggota-anggota DPRD juga harus taat terhadap asas-asas umum tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) yang menuntun keseharian mereka sebagai wakil rakyat. Hal ini juga berlaku dalam proses penyusunan legislasi ditingkat daerah, khususnya dalam pembentukan peraturan daerah (Perda). Salah satu asas penting dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah “asas kepentingan umum”, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 58 huruf Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Pada bagian penjelasan Pasal tersebut, dijelaskan secara utuh bahwa, “Yang dimaksud dengan “asas kepentingan umum” adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif”[2]. Artinya, DPRD dalam pembentukan Perda, seharusnya lebih mendahulukan produk legislasi yang sesuai dengan permasalahan pokok yang tengah dihadapi rakyat. Jangan kepala yang gatal, tapi punggung yang digaruk.
Pembahasan Raperda RZWP3K di tengah masa pandemi Covid-19, juga akan mengecilkan ruang bagi terpenuhinya asas keterbukaan, sebagaimana yang diwajibkan dalam Pasal 5 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pada bagian penjelasan Pasal tersebut, dijelaskan bahwa, “Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan”[3].
Frase “kesempatan seluas-luasnya” ini, harus dimaknai sebagai bentuk keharusan bagi pembentuk Perda untuk memberikan ruang partisipasi aktif kepada seluruh lapisan masyarakat, tertuma sektor terdampak. Petanyaannya adalah, apakah di tengah situasi pandemi Covid-19 ini, partisipasi itu dapat berjalan dengan baik, sementara fokus lebih tertuju kepada upaya penanganan virus mematikan ini?
Nir Partisipasi
Partisipasi adalah elemen penting dalam pembentukan Perda. Tanpa partisipasi, tidak akan ada demokrasi. Tanpa partisipasi, tidak akan ada legitimasi rakyat terhadap produk hukum yang dibuat oleh DPRD bersama dengan Kepala Daerah. Karena alasan itulah, partisipasi masyarakat menjadi kewajiban pokok dalam proses pembentukan Perda. Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, menyebutkan secara eksplisit bahwa, “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan”.
Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal tersebut, dapat berupa rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi, seminar, lokakarya, dan/atau diskusi[4]. Namun di tengah pandemi Covid-19 ini, partisipasi menjadi hal yang sulit dilakukan akibat pikiran masyarakat akan lebih terkonsentrasi kepada hal-hal yang berkenaan dengan upayan penanganan pandemi Covid-19. Atau jangan-jangan, pembahasan Raperda RZWP3K ini memang sengaja dilakukan dimasa pandemi Covid-19 ini, disaat kemampuan publik dalam mengawasi materi muatan Raperda, sedang lemah akibat energi yang terkuras untuk melawan pandemi Covid-19.
Kewajiban DPRD dan Kepala Daerah untuk melibatkan partisipasi masyarakat luas dalam pembentukan Perda ini, dikuatkan dengan kententuan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2017 tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, yang menyebutkan bahwa, “Masyarakat berhak berpartisipasi dalam penyusunan Peraturan Daerah dan kebijakan daerah yang mengatur dan membebani Masyarakat”.
Dan frase “membebani masyarakat” sebagaimana dimaksud dalam Pasal tersebut, diantaranya adalah peraturan daerah atau kebijakan daerah yang berkenaan dengan rencana tata ruang, pajak daerah, retribusi daerah, perencanaan dan penganggaran pembangunan daerah, perizinan, pengaturan yang memberikan sanksi kepada Masyarakat, dan pengaturan lainnya yang berdampak social[5]. Dan Raperda RZWP3K, adalah produk hukum yang erat hubungannya dengan pemanfaatan ruang kehidupan masyarakat dan ekosistemnya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Untuk itu, upaya untuk mendorong keterlibatan masyarakat terdampak, adalah wajib hukumnya. Tanpa keterlibatan masyarakat, terutama sektor terdampak, maka Raperda RZWP3K itu hanya akan menjadi stempel para pemodal, namun menjadi lonceng bahaya bagi masyarakat terdampak. Berdasarkan argumen ini, maka pembahasan Raperda RZWP3K dan Raperda lain yang tidak relevan dengan upaya penangan pandemi Covid-19, harus dihentikan oleh DPRD dan Kepala Daerah. Jangan sampai DPRD dan Kepala Daerah, bertelinga tapi tidak mampu mendengar (aures habent et non audient).
Tulisan ini sebelumnya sudah dimuat di Koran Harian Disway Kaltim, edisi Jumat 29 Mei 2020. Sumber gambar : cnbcindonesia.com.
[1] Jeremy Bentham. 2010. Teori Perundang-Undangan : Prinsip-prinsip Legislasi, Hukum Perdatan dan Hukum Pidana. Bandung : Penerbit NUANSA dan Penerbit NUSAMEDIA. Hal. 25.
[2] Lihat bagian penjelasan Pasal 58 huruf c Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
[3] Lihat bagian penjelasan Pasal 5 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
[4] Lihat Pasal 96 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
[5] Lihat Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2017 tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Leave a Reply