“Kampus tiarap, para profesor tiarap, yang lain juga tiarap, ini kan repot. KPK sedang dimusuhi berbagai kekuatan” kata Syafii Maarif dalam sebuah kesempatan. Pernyataan ketua tim 9 yang dibentuk oleh Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan kisruh KPK-Polri ini, bukan tanpa alasan. Lemahnya dukungan yang mengalir dari perguruan tinggi, menjadi sebab kenapa kritik ini penting untuk dilontarkan. Tidak hanya itu, komitmen dalam hal konsistensi dukungan terhadap KPK, juga turut dipertanyakan.
Ditengah upaya pelemahan terhadap KPK, menjadi penting untuk menagih sikap dari berbagai kalangan, termasuk dari kalangan kampus. Dunia yang konon menjadi lumbung perjuangan akan nilai-nilai keadilan, namun terkesan adem belakangan ini. Ada apa dengan kampus sesungguhnya? Orang-orang terdidik yang seharusnya berada digarda terdepan dalam upaya pemberantasan korupsi, kini justru cenderung asyik menikmati situasi tanpa mampu bersikap secara tegas terhadap apa yang dialami oleh KPK.
Peran Kampus
Mengapa harus kampus? Ini mungkin menjadi pertanyaan mendasar. Apakah kampus menjadi satu-satunya elemen yang diharapkan untuk mengalirkan dukungan terhadap KPK? Tentu saja tidak. Tetapi jika menengok sejarah, maka akan sangat sulit mengingkari peran penting kampus dalam berbagai momentum perubahan bangsa ini. Dalam hal upaya pemberatasan korupsi, kampus menjadi tumpuan utama tanpa menihilkan peran dari masyarakat luas. Dunia kampuslah yang berkontribusi besar dalam babak sejarah perjuangan bangsa ini dalam melawan korupsi.
Baca juga : Jejak Sejarah Korupsi Di Indonesia.
Dalam upaya pemberantasan korupsi, sesungguhnya kampus memiliki peran yang sangat penting. Menurut Johan Budi, salah satu Plt. Pimpinan KPK saat ini, setidaknya terdapat 4 (empat) peran strategis kampus dalam upaya mendorong percepatan pemberantasan korupsi. Pertama, kampus sebagai tempat inovasi (center for innovation). Karene modus kejahatan tindak pidana korupsi selalu berkembang, maka kampus dituntut untuk senantiasa melakukan inovasi untuk mengembangkan serta memperluas strategi serta program pemberantasan korupsi.
Kedua, kampus sebagai pusat pembelajaran (center of idea). Kampus memiliki kewajiban untuk menggali, merumuskan dan mengembangkan nilai-nilai serta prinsip anti korupsi. Kampus dalam kapasitas dan kompetensinya, berfungsi untuk melahirkan ide-ide dan gagasan yang asli dan utuh mengenai nilai-nilai serta prinsip anti korupsi tersebut.
Ketiga, kampus sebagai lembaga pengawas (supervisory agencies). Posisi kampus selama masih cenderung dianggap independen dan relatif bebas dari kepentingan. Oleh karena ini, kampus dapat memainkan fungsi sebagai lembaga pengawas terhadap para penegak hukum, sekaligus menjadi kelompok penekan yang efektif untuk menjamin proses pemberantasan korupsi dijalankan oleh para penegak hukum secara amanah.
Keempat, kampus sebagai media transformasi kesadaran (a tools of awareness transformation). Kampus harus menjadi media untuk menciptakan generasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai serta keteladanan sosial yang berlaku dimasyarakat. Kampus harus mampu mengembangkan laboratorium sosial ini agar kedepan metode pembelajaran tidak hanya bersifat tekstual, tetapi juga mampu menyeimbangkan antara teori dan fenomena sosial.
Dari keempat alasan tersebut di atas, seharusnya kampus mengambil peran lebih ketika melihat persolan pelemahan KPK terus terjadi. Kampus tidak boleh diam dan mutlak harus menegaskan sikap. Kampus tidak boleh hanya terjebak dalam ritual teori tanpa menyentuh persoalan yang dialami oleh Bangsa ini, khususnya dalam upaya pemberantasan korupsi yang kini kian didesak mundur oleh berbagai kepentingan, baik dari para koruptor maupun dari oligarki politik.
Menagih Komitmen
Dengan melihat situasi yang terjadi hari ini, dimana KPK kian dilemahkan (atau mungkin lebih tepat dikatakan mengalami “penghancuran” secara sistematis), dunia kampus seharusnya mengambil peran dibarisan terdepan. Para tenaga pengajar, mahasiswa, bahkan para professor, seharusnya mampu menjadi kekuatan pendobrak yang mampu meyakinkan masyarakat untuk bergerak bersama. Dunia kampus tidak boleh menjadi penonton ditanah mereka sendiri. Ibarat suguhan pertandingan sepakbola, dunia kampus tidak boleh hanya menjadi komentator atau sekedar penonton dipinggir lapangan. Namun lebih dari itu, dunia kampus harus berkontribusi nyata dalam upaya pemberantasan korupsi, termasuk memberikan sokongan sepenuhnya kepada KPK yang sedang mengalami pelemahan.
Saat ini, pemertintahan Joko Widodo dianggap masih rapuh dalam mengambil sikap terkait upaya pelemahan KPK yang hingga kini masih berlangsung. Tidak hanya indikasi upaya kriminalisasi terhadap para pimpinan KPK dan penyidiknya. Namun juga termasuk tindakan yang sama yang dialami oleh para aktivis anti korupsi yang selama ini getol mendukung KPK. Disamping itu, penyerahan kasus rekening gendut tersangka Budi Gunawan kepada Kejaksaan Agung (Kejagung), semakin membuka ruang keropos bagi KPK secara kelembagaan. Untuk itu, diperlukan sokongan dan dukungan kepada KPK dari berbagai kalangan, termasuk dari kalangan kampus.
Setidaknya, kalangan kampus harus mampu memberikan dukungan yang kuat terhadap KPK, dengan melalukan beberapa hal. Pertama, dunia kampus harus bersinergi untuk melakukan gerakan bersama dalam mengalirkan dukungan kepada KPK. Sebab persoalan pelemahan KPK bukan hanya menjadi masalah mereka yang ada di pusat kekuasaan, namun menjadi tanggung jawab kampus-kampus yang ada diseluruh Indonesia.
Kedua, dunia kampus harus bersinergi pula dengan masyarakat. Agar kampus tidak menjadi elitis, maka para civitas akademika harus mampu bersenyawa dengan masyarakat dalam upaya memberikan dukungan kepada KPK. Upaya pemberantasan korupsi sesungguhnya ditentukan dari seberapa besar sokongan dari masyarakat Indonesia. Dan dunia kampus menjadi faktor pemicu (trigger) agar kesadaran masyarakat mampu digali.
Ketiga, dunia kampus harus menjadi pengawas (supervisor) sekaligus penekan (pressure) terhadap pemerintahan Joko Widodo yang cenderung tidak mampu bersikap tegas terhadap upaya pelemahan yang saat ini dialami oleh KPK. Pemerintahan Joko Widodo harus terus menerus ditagih dalam hal janji dan komitmen pemberantasan korupsi, sekaligus memberikan keyakinan politik bahwa Rakyat Indonesia berada dalam barisan terdepan untuk memberikan dukungan, jika seandainya Presiden Joko Widodo berani bertindak tegas untuk menghentikan upaya pelemahan KPK.
Jika ketiga hal ini tidak dilakukan oleh kalangan kampus, maka adalah benar pernyataan Syafii Maarif bahwa dunia kampus sedang tiarap, para professor tiarap, mahasiswa tiarap. Tiarap berarti menutup mata dan telinga terhadap persoalan yang sedang dihadapi bangsa ini. Dan ini berarti membunuh tanggung jawab dunia kampus terhadap Rakyat Indonesia.
Tulisan ini sebelumnya dimuat di Koran Harian Kaltim Post, Edisi Kamis 12 Maret 2015.