Siapa yang punya hutang piutang politik di kampus? Tentu saja rektor dan para dekan. Darimana hutang piutang politik itu? Lahir dan berkembang biak dari proses tawar menawar atau politik transaksional saat pemilihan rektor maupun pemilihan dekan berlangsung. Relasi hutang piutang itu terbangun dalam proses pemilihan. Porsi suara yang dipegang oleh Presiden melalui Menteri dalam pemilihan rektor, maupun porsi suara yang dipegang rektor saat pemilihan dekan, membuat kedua belah pihak saling menyandera. Porsi suara menteri dalam pemilihan rektor maupun porsi suara rektor dalam pemilihan dekan, membangun relasi simbiosis mutalisme dengan para calon rektor dan calon dekan. Menteri dan rektor hanya akan memberikan suara mereka jika calon rektor dan calon dekan bersedia melakukan atau setidaknya menjanjikan sesuatu yang dikehendaki oleh menteri ataupun rektor. Orang boleh saja mengingkarinya, tapi ibarat kentut, semakin hal ini dibantah semakin aroma busuknya tercium!
Ini adalah situasi yang tidak sehat. Praktek transaksional di dalam kampus yang seolah menikam rasionalitas para penghuninya, yakni para civitas akademika yang selama ini justru menghujat politik kotor semacam ini. Dosen yang disetiap kelas dengan begitu lantangnya mengkampanyekan anti politik transaksional, justru secara sadar bersikap permisif terhadap politik transaksional. Dosen yang berkoar-koar tentang integritas, justru menggadaikan integritasnya untuk ditukar dengan posisi dan jabatan. Dosen yang selama ini bicara tentang perlawanan atas sistem yang membunuh nalar sehat kita, justru menjadi penyokong utama sistem yang busuk semacam ini. Inilah anomali kampus. Teori dan praktek tidak selaras. Perkataan dan perbuatan tidak sejalan. Bukankah hal yang memalukan jika seseorang yang mengaku dirinya sebagaum kaum intelektual, namun justru tidak konsisten antara apa yang dipikirkan dengan apa yang dikerjakan.
Kritik Regulasi
Tidak bisa dipungkiri bahwa akar dari hutang piutang politik dalam kampus ini berawal dari regulasi. Hal ini spesifik berkaitan dengan peraturan tentang pemilihan baik rektor maupun dekan. Dalam pemilihan rektor misalnya, Menteri diberikan hak Istimewa (privilege) berupa suara sebesar 35 persen dalam pemilihan rektor. Hal ini disebutkan secara eksplisit dalam ketentuan Pasal 9 ayat (3) Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 19 Tahun 2017 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Pemimpin Perguruan Tinggi Negeri sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 21 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 19 Tahun 2017 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Pemimpin Perguruan Tinggi Negeri (Permenristek Pengangkatan Pimpinan PTN), yang menyebutkan bahwa, menteri memiliki 35% hak suara ,sementara senat memiliki 65% hak suara.
Desain dan komposisi hak suara sebagaimana yang diatur dalam Permenristek Pengangkatan Pimpinan PTN ini, tentu saja membuka ruang transaksional dalam proses pemilihan rektor. Secara politik, kalkulasi suara untuk memenangkan mayoritas pemegang hak suara dalam pemilihan rektor, pada akhirnya akan sangat bergantung dari 35 persen suara menteri. Segala carapun dilancarkan untuk mendapat restu menteri. Bahkan tidak jarang publik disuguhkan isu “suap menyuap” untuk mendapatkan suara. Setali tiga uang, hal serupa juga terjadi dalam pemilihan dekan. Bisa dikatakan setiap kampus mengadopsi konsep 35 persen suara ini ke dalam statute universitas-nya masing-masing. Jadi keterpilihan seorang dekan, sangat bergantung jatah suara 35 persen yang dimiliki oleh rektor. Dari sinilah hutang piutang politik mulai dipupuk. Dilegitimasi melalui produk hukum dalam bentuk Permenristek Pengangkatan Pimpinan PTN. Produk hukum ini dengan didesain untuk menyandera kampus melalui hutang piutang politik.
Pasang Badan
Apa dampak dari hutang piutang politik ini? Pertama, tidak ada makan siang gratis (no free lunch). Ungkapan “no free lunch” sendiri pada dasarnya sudah ada sejak tahun 1800-an. Menurut laporan New York Times pada 1872, untuk menarik pelanggan, banyak bar di wilayah Crescent City, New Orleans, Amerika Serikat, yang menawarkan makan siang gratis. Namun meski makanan gratis, pelanggan tetap dikenakan bayaran untuk minuman. Dari minuman inilah harga makanan disubsidi. Jadi ini permainan harga berkedok makanan gratis[1]. Dalam konteks pemilihan rektor ataupun pemilihan dekan, apakah pemegang suara 35 persen akan memberikan suaranya secara cuma-cuma? Mustahil! Porsi suara 35 persen tentu saja akan ditukar dengan kesetiaan kepada pemberi suara. Atau bisa ditukar dengan apapun yang dikehendaki oleh pemegang suara 35 persen itu. Sebab secara psikologis, seseorang yang membutuhkan suara, rela melakukan apa saja demi suara signifikan 35 persen itu.
Kedua, porsi suara 35 persen akan membuka ruang kendali. Pada akhirnya, Menteri dilevel pemilihan rektor, akan menjadikan porsi suara 35 persen ini sebagai alat kontrol terhadap kampus melalui rektor terpilih. Hal secara mutatis mutandis juga terjadi dilevel pemilihan dekan, dimana rektor akan menajadikan suara 35 persen ini sebagai pintu masuk untuk mengendalikan pimpinan-pimpinan fakultas. Jadi pada intinya, kita tidak perlu heran ketika para penerima manfaat suara 35 persen, dalam hal ini rektor mampun dekan, umumnya akan pasang badan terhadap Keputusan apapun yang dikeluarkan oleh si pemberi suara. Penerima manfaat suara ini terjebak dengan hutang piutang politik yang membuatnya kehilangan nalar sehat. Namun harus dipahami, ini bukan hanya karena diakibatkan aturan tentang hak suara 35 persen semata. Namun juga hilangnya integritas, dimana prinsip telah diobral murah demi jabatan!
Tulisan sebelumnya sudah dimuat di Koran Harian Kaltim Post, edisi Selasa 26 Maret 2024.
[1] Sumber : https://bisnis.tempo.co/read/1602517/asal-usul-idiom-tidak-ada-makan-siang-yang-gratis. Diakses tanggal 24 Maret 2024 pukul 23.00 Wita.