“Bagi saya, korupsi adalah suatu penyakit ganas yang menggerogoti kesehatan masyarakat seperti halnya penyakit kanker yang setapak demi setapak menghabisi daya hidup manusia”[1]. Ungkapan Selo Sumardjan tersebut terasa tepat untuk menggambarkan kondisi yang tengah dihadapi Bangsa Indonesia saat ini. Korupsi ibarat penyakit yang terlampau sulit untuk disembuhkan. Korupsi telah menjalar disetiap sendi kehidupan dan seakan telah mengakar dalam kehidupan sehari-hari.
Korupsi secara sederhana dapat dipahami sebagai tindakan “perampokan” terhadap uang Negara, yang tentu saja bersumber dari Rakyat. Kata korupsi sendiri berasal dari bahasa latin, yakni “corruptio” (diambil dari kata kerja corrumpere), yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Menurut Wikipedia Indonesia, korupsi merupakan tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu, yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak[2].
Indonesia sendiri sejak zaman pemerintahan orde lama Soekarno hingga orde reformasi saat ini, telah menerbitkan beragam peraturan perundang-undangan dalam upaya pemberantasan korupsi. Mulai dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hingga Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan “United Nations Convention Against Corruption, 2003.
Namun pertanyaan mendasar selama ini yang mengemuka adalah, apakah dengan peraturan yang telah ada, telah cukup untuk memberantas praktek korupsi di Negara kita? Ataukah terdapat permasalah lain yang perlu dijadikan fokus dalam upaya pemberantasan korupsi?. Tulisan ini mencoba untuk memberikan perspektif yang berbeda, terutama memberikan alternatif analisis terhadap pandangan yang selama ini hanya meletakkan persoalan moralitas sebagai akar utama munculnya korupsi dalam kehidupan kita.
Persoalan utama dari korupsi, adalah moralitas individu bangsa kita. Demikian maxim (ujar-ujar) yang sering kita dengarkan dimana-mana. Ungkapan tersebut terasa sangat keliru, meski terdapat kebenaran yang terkandung di dalamnya. Kita tidak boleh serta merta melihat segi moral sebagai aspek tunggal dari praktek korupsi di Indonesia. Moralitas seseorang sangat ditentukan oleh lingkungan dan pergaulan sosialnya. Tinggi rendahnya moralitas yang terbangun dalam diri seseorang, tergantung seberapa besar dia menyerap nilai (pervade value) yang diproduksi oleh lingkungannya. Selama 32 tahun Orde Baru berkuasa, moralitas masyarakat direduksi oleh kepentingan politik dominan ketika itu. Negara melalui pemerintah telah secara sengaja membangun stigma dan prilaku yang menyimpang (abuse of power), dengan melegalkan praktek korupsi dikalangan pejabat-pejabat pemerintahan.
Hal tersebut dikarenakan oleh bentuk serta pola praktek kekuasaan yang cenderung menindas sehingga secara terang-terangan telah melegalkan praktek korupsi, meski di depan mata masyarakat kita sendiri. Zaman itu, mungkin saja semua orang tahu (bahkan tak jarang yang pura-pura tak tahu), bahwa telah terjadi penyimpangan dan penyelewengan penggunaan uang rakyat dalam bentuk korupsi yang dilakukan oleh penguasa Orde Baru dan kroni-kroninya. Akan tetapi, budaya politik bisu (culture silent) yang dihegemonisasi oleh pemerintah, membuat masyarakat terkesan diam dan acuh akibat ketakutan-ketakutan mereka yang oleh pemerintah sengaja diproduksi secara sistematis ketika itu. Bersuara berarti berhadapan dengan kekuasaan, yang tentu akan berujung tekanan dan represi bagi yang berani menyuaraknnya.
Moralitas vs Sentralisme Kekuasaan
Korupsi merupakan sebuah masalah multi dimensi yang berakar pada struktur sosial-politik masyarakat Indonesia. Korupsi bukanlah sebuah masalah moral semata, seperti yang diyakini oleh sebagian besar masyarakat. Sekalipun masalah moral memiliki peran penting dalam menyuburkan praktek korupsi di Negara kita, akan tetapi peran tersebut tidak tidak terlepas dari struktur politik kekuasaan yang memberikan ruang untuk munculnya masalah korupsi ini. Namun tetap saja berbagai kelompok baik pemerintah, tokoh masyarakat, NGO/LSM, hingga tokoh-toko agama menyerukan dan menghimbau masyarakat untuk terus memperbaiki akhlak dan nilai-nilai moral yang selama ini dianggap biang keladi terjadinya korupsi di Indonesia.
Media yang digunakanpun beragam. Mulai dari iklan televisi, koran, majalah, tabloid hingga pamflet dan selebaran. Poin yang ingin disampaikan adalah, “jika ingin korupsi dibasmi, maka perbaikilah moral dan akhlak dasar kita, sebab moral yang bobrok merupakan akar penyebab korupsi di Indonesia”. Upaya tersebut bukan salah, namun keliru memandang persoalan secara objektif. Bahkan kekhawatiran terbesar kita adalah, jangan sampai upaya kampanye yang terus menerus menyudutkan masalah moral sebagai biang keladi menjamurnya korupsi, hanya dijadikan sebagai upaya “cuci tangan” dan “pengalihan isu” dari para pejabat korup, sehingga menafikan faktor utama yang mendorong lahirnya praktek korupsi tersebut, yakni bangunan kekuasan yang otoriter, menindas dan terpusat kepada segelintir orang saja.
Rendahnya moralitas seseorang, memang menjadi salah satu varian penyebab korupsi, namun masih ada hal yang lebih penting dari akar persoalan menjamurnya praktek korupsi, yang tentu lebih substansial dari sekedar alasan moralitas. Salah satu di antara banyak faktor yang berperan menyuburkan korupsi adalah “sentralisme kekuasaan”, atau struktur pemerintahan yang memusatkan kekuasaan di tangan segelintir elit saja. Bayangkan, jika kekuasaan dijalankan dengan tangan besi, betapa mudahnya praktek korupsi ini dilakukan atas nama kepentingan bersama.
Sama persis dengan praktek kekuasaan yang dijalankan oleh pemerintahan Orde Baru Soeharto, dimana pemerintah dengan begitu mudahnya menghisap pajak dan uang rakyat atas nama dan untuk pembangunan. Siapa yang menghalang-halangi, dicap sebagai anti pemerintah, membahayakan stabilitas Negara, hingga tuduhan komunis gaya baru dan lain sebagainya. Hakekatnya, kekuasaan Negara yang terpusat kepada segelintir orang saja, tentu akan mengakibatkan dominasi dan hegemoni yang kuat terhadap mayoritas rakyat Indonesia. Hal inilah yang menjadi factor penting mengapa korupsi begitu sangat mudahnya tumbuh subur dan berkembang di Indonesia.
Pada sisi lain, secara sosiologis dapat kita analisis bahwa kecenderungan korupsi yang menyebar dan menjamur dikalangan masyarakat umum, juga tidak lepas dari bangunan kekuasaan yang dipraktekkan oleh Orde Baru Soeharto. Pemikiran masyarakat telah terhegemoni oleh lingkungan sosial yang terbentuk dari bangunan kekuasaan yang sentralistik dan otoriter tersebut. Wajar kemudian ketika sebahagian besar pejabat-pejabat pemerintahan hingga tingkat daerah (Gubernur, Bupati, Walikota, Camat, Lurah hingga kepala dusun sekalipun), juga ikut bertindak sama dengan prilaku yang diterapkan oleh kekuasaan Orde Baru yang otoriter dan sewenang-wenang. Pejabat lokal pemerintahan inipun, tak segan untuk menggunakan otoritasnya demi memperkaya diri sendiri dengan menghisap serta menindas masyarakat.
Toh pada akhirnya, masyarakat terkesan diam dan tak berani bertanya apalagi melakukan protes akibat dominannya kekuasaan yang terjadi. Akibatnya, budaya politik yang terbangun ditengah masyarakat cenderung prematur dan prakmatis. Semisal, banyaknya masyarakat yang berlomba-lomba untuk menjadi Bupati atau Camat meski harus menghabiskan biaya yag tak sedikit dalam pemilihannya dengan satu pemikiran, “Bukankah biaya yang saya keluarkan ini tak seberapa jika dibandingkan dana yang akan saya dapatkan di pemerintahan jika berkuasa nanti? Bahkan bisa berlipat-lipat jumlahnya”. Sungguh situasi yang sangat menyedihkan ditengah kondisi dan kehidupan masyarakat yang semakin terpuruk.
Warisan Masa Lalu
Dalam konteks perjalanan bangsa Indonesia, persoalan korupsi memang telah mengakar sejak lama. Bahkan dikalangan mayoritas pejabat publik, tak jarang yang menganggap korupsi sebagi sesuatu yang “lumrah dan Wajar”. Ibarat candu, korupsi telah menjadi barang bergengsi, yang jika tidak dilakukan, maka akan membuat “stress” para penikmatnya. Korupsi berawal dari proses pembiasan, akhirnya menjadi kebiasaan dan berujung kepada sesuatu yang sudah terbiasa untuk dikerjakan oleh pejabat-pejabat Negara. Tak urung kemudian, banyak masyarakat yang begitu pesimis dan putus asa terhadap upaya penegakan hukum untuk menumpas koruptor di Negara kita.
Jika dikatakan telah mengakar dalam kehidupan, lantas darimana awal praktek korupsi ini muncul dan berkembang?. Tulisan ini akan sedikit memberikan pemaparan mengenai asal-asul akar korupsi di Indonesia yang pada hakekatnya telah ada sejak dulu ketika daerah-daerah di Nusantara masih mengenal system pemerintah feodal (Oligarkhi Absolut), atau sederhanya dapat dikatakan, pemerintahan disaat daerah-daerah yang ada di Nusantara masih terdiri dari kerajaan-kerajaan yang dipimpin oleh kaum bangsawan (Raja, Sultan dll).
Secara garis besar, akar korupsi di Indonesia tumbuh dan berkembang melalu 3 (tiga) fase sejarah, yakni ; zaman kerajaan, zaman penjajahan hingga zaman modern seperti sekarang ini. Mari kita coba bedah satu-persatu pada setiap fase tersebut.
Pertama, Fase Zaman Kerajaan. Akar korupsi di Indonesia pada prinsipnya, dilatar belakangi oleh adanya kepentingan atau motif kekuasaan dan kekayaan. Literatur sejarah masyarakat Indonesia, terutama pada zaman kerajaan-kerajaan kuno (Mataram, Majapahit, Singosari, Demak, Banten dll), mengajarkan kepada kita bahwa konflik kekuasan yang disertai dengan motif untuk memperkaya diri (sebagian kecil karena wanita), telah menjadi faktor utama kehancuran kerajaan-kerajaan tersebut[3]. Coba saja kita lihat bagaimana Kerajaan Singosari yang memelihara perang antar saudara bahkan hingga tujuh turunan saling membalas dendam berebut kekuasaan. Mulai dari Prabu Anusopati, Prabu Ranggawuni, hingga Prabu Mahesa Wongateleng dan seterusnya.
Hal yang sama juga terjadi di Kerajaan Majapahit yang menyebabkan terjadinya beberapa kali konflik yang berujung kepada pemberontakan Kuti, Nambi, Suro dan lain-lain. Bahkan kita ketahui, kerajaan Majapahit hancur akibat perang saudara yang kita kenal dengan “Perang Paregreg” yang terjadi sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Lalu, kerajaan Demak yang memperlihatkan persaingan antara Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang. Dan ada juga Kerajaan Banten yang memicu Sultan Haji merebut tahta dan kekuasaan dengan ayahnya sendiri, yaitu Sultan Ageng Tirtoyoso[4].
Untuk membaca versi lengkap dari tulisan ini, silahkan download melalui link berikut ini : Jejak Sejarah Korupsi Di Indonesia.
Tulisan ini sebelumnya telah dimuat dan dipublikasi di website Kormonev Menpan dan di media online Gagasan Hukum di Tahun 2008-2009 silam. Dibulikasikan ulang sebagai arsip pribadi di blog ini setelah melalui proses revisi seadanya terhadap beberapa bagian. Sumber gambar : standardmedia.co.ke.
Bloggerwan says
Korupsi di Indonesia memang sulit diberantas namun juga bukan budaya bangsa ini. Masih ada yang jujur meski jumlahnya sedikit dan tersembunyi.
Herdiansyah Hamzah says
Yup, sulit bukan berarti mustahil. Memotong mata rantai korupsi, sangat tergantung dari upaya kita bersama. Butuh keteladanan dari hal-hal terkecil. Benar, budaya disini memiliki konotasi bahwa korupsi sudah mengjangkit mayoritas. Dan justru orang-orang jujur inilah yang harus berbuat. Trims komentarnya ya, semoga bisa berdiskusi banyak.
Java Koo says
memang benar perkataan Imam Al Gazhali yang paling sulit adalah menjaga Amanah. banyak pejabat di negeri ini yang intelek tapi sedikit yang amanah. kita doakan semoga Indonesia dapat bebas dari korupsi walaupun itu tidak pure bersih dari korupsi.
Herdiansyah Hamzah says
Benar, menjaga amanah memang penting, terutama amanah yang telah dipercayakan oleh massa rakyat. Namun perjuangan pemberantasan korupsi adalah tanggung jawab kita bersama dengan alat perjuangan yang kuat dan dibangun oleh kekuatan kita bersama pula.
i made wirjanta says
Raja-raja di nusantara memang korup, demikian juga pemerintah kolonial belanda, sampai era orde lama dan paling dahsyat era orde baru sampai sekarang. Tetapi adat istiadat kita tingkat desa atau banjar(Bali) pengelolaan uang milik bersama relatif jauh dari korupsi. Kalaupun ada korupsi sangat cepat diketahui dan diselesaikan, baik secara adat maupun lewat peradilan negeri. Nilai2 adat ini perlu sungguh2 digali oleh pihak yang berwenang. Apakah memang benar masyarakat kita itu bermental korup atau anti korup.. Agama2 terbukti tidak menyurutkan korupsi. Agama-agama yang diakui di indonesia semuanya impor, yang sedikit banyak sangat erat kaitannya dengan kekuasaan pada masanya. Dan juga sangat erat dengan kekuasaan masa kini. Nilai2 agama tentu anti korupsi, tetapi kaitan agama dengan organisasi agama sangat kental dengan korupsi. Perlu kajian mendalam antar nilai2 agama dengan nilai2 adat yang hidup dalam masyarakat. Harus dihindari adanya pemanfaatan agama untuk tujuan kekuasaan dan sebagai alat pemecah belah masyarakat(seperti yang terjadi di Afrika dan Timur Tengah akhir2 ini). Perlu disadari Indonesia mempunyai kesempatan besar untuk sungguh2 menggali nilai2 agama yang ada karena semuanya bukan berasal dari Indonesia. Fanatisme hanya akan merugikan Indonesia karena akan menyuburkan korupsi, kolusi dan nepotisme. Transformasi nilai2 agama yang unggul dan universal kedalam budaya adat istiadat Indonesia yang relatif anti korup akan sangat berguna. Terutama dalam perumusan peraturan perundangan-undangan oleh yang berwenang. (Pemerintah Pusat dan Daerah bersama DPR dan DPRD). Saran, jauhilah fanatisme agama, karena semua agama di Indonesia sesungguhnya impor.
Herdiansyah Hamzah says
Setuju, pada prinsipnya agama bagi saya pribadi adalah soal relasi vertikal secara individu. Sedangkan adat adalah bangunan sistem sosial secara kolektif. Hanya saja, adat dalam makna sosiologis juga tetap membutuhkan mekanisme kontrol secara kolektif. Artinya, keputusan, kebijakan dan penentuan nasib, tetap harus dilakukan secara bersama, tidak ditentukan oleh pemimpin secara membabi buta. Sebagaimana pernyataan Robert Klitgard, bahwa korupsi tercermin dari monopoly + Discresion – Acountability. Korupsi mampu diminimalisir dengan membatasi kekuasaan agar tidak dimonopoli oleh segelintir orang, mencegah diskresi yang membabi buta dan membangun akuntabilitas kepada massa.
Jubah Murah says
Tersedak saya … tengah makan tadi … memang menarik laa blog awak
nie… best arr
Herdiansyah Hamzah says
Thank you, semoga memberi manfaat. Apa yang terjadi di Indonesia, sesungguhnya tidak berbeda dengan apa yang berlaku di Negara Anda. Perkara korupsi, adalah perkara yang berlaku dimana-mana. Akarnya-pun sama, berasal dari sistem kekuasaan yang tidak terkendali dan kebal kritik dan kontrol.
Muslimedica says
korupsi hanya bisa diatasi dengan hukum Islam
Herdiansyah Hamzah says
Ada sample? Apakah Anda mau mengatakan jika Negara2 berbasis hukum Islam, tidak ada praktek korupsi? Ada baiknya Anda memberikan penjelasan seperti apa hukum islam menghadapi korupsi.
Erbert Effendy says
Korupsi itu sebenarnya sudah ada sejak manusia itu diciptakan oleh Allah, dimana saat “Adam dan Hawa tinggal di Taman Eden dan berjalan bersama Allah, tetapi akhirnya mereka diusir dari taman itu karena mereka melanggar perintah Allah untuk tidak memakan buah dari pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat“. Sehingga benar, apa yang diulas bung Herdiansyah diatas bahwa Korupsi adalah warisan masa lalu.
Jadi tidak bisa kalau korupsi itu “hanya bisa diatasi” dengan meng-atasnamakan agama tertentu (*menanggapi Muslimedica,Sept 2013). Karena sesungguhnya korupsi hanya bisa diatasi oleh individu itu sendiri yang telah benar-benar menyadari korupsi akan “memiskinkan” orang yang miskin dan “memakmurkan” orang yang berada.
Bunda Isni says
Korupsi di Indonesia sudah mendara daging makanya susah untuk hilang mulai dari Posisi yang tinggi sampai rendah korupsi tidak dapat di basmi walaupun sudah ada KPK tapi tetap aja ada yang korupsi.
Info Desain says
Betul bunda! lha wong KPK nya pada doyan duit Korupsi
Herdiansyah Hamzah says
Bunda Isni + Info Desain : KPK tidak bisa berjalan sendiri tanpa sokongan dan partisipasi massa rakyat. KPK bukan tuhan yang dapat melakukan apa saja tanpa bantuan siapa2. Justru kita dituntut untuk memberikan kontribusi, sekecil apapun itu.
toko buku online terlengkap says
If you are going for best contents like I do, simply visit this
website everyday because it offers quality contents, thanks
Muhammad Mu'thi AF says
Amin Rahayu, dalam “Sejarah Korupsi di Indonesia”. Amanah No. 55, tahun XVIII, Oktober 2004. Ini sumbernya majalah mas?
Herdiansyah Hamzah says
Iya, majalah Amanah edisi Oktober 2004. Amin S. Rahayu adalah peneliti LIPI.
Soeparto Abdulmanap says
Numpang berbagi info pengalaman hidup,;Saya lulusan ITB Bandung th 1960 setelah lulus teman2 ajak masuk di pemerintahan saya tidak mau denan alasan pegawai negeri ga bisa kaya kalau ga korupsi, akhinya saya masu ke semi pemerintah sebuah BUMN aset pemerintah yang cukup besar- ternyata saya merasakan aneh karena pejabat2-nya menganggap BUMN itu miliknya sendir hingga kasat mata isinya korup,hanya kuat 3 th keluar lalu masuk BUMN kecil ternyata waktu itu pimpinannya didominasi oleh angkata darat yg tidak ada basic knowledge mengenai dagang karena bidangnya perdagangan hingga dalam waktu beberapa tahun kolaps banyak yang bangkrut tutup termasuk BUMN tempat saya kerja-akhirnaya pada th 1964 dengan modal tekad saya menswastakan diri dengan modal dengkul dan berjala lancar mulai dg pekerjaan kecil dari relasi2 wakyu kerja di BUMN bekas perusahaan belanda yang diambil alih. Waktu itu dikota Surabaya bisa beli rumah dan mobil hidup berkecukupan- Pada1972 pindah ke Jakarta dan bertekad lagi untuk mulai bisnis dari nol lagi, ternyata di Jakarta untk bisnis lebih banyak kesempatannya asal mau kerja keras-hingga th 1976 mendapat proyek dari hasil tender pemerintah sebesar 1,6 milyar rp ( proyek pertama dari pemerinta dari hasil tender)-disinilah mulai mengalami masalah unik yg terjadi dan harus berkali2 saya alami sebagai pengusaha pribumi: sebagai pemenang tender harus siap bank garansi dari bank PEMERINTAH-saya ajukan b.garansi ke Bank sehari2 saya tidak berhasil dengan alasan macam2-menemukan perantara nonpri dalam 2 hari keluar dar bank yg sama akhirnya dengan proses macam2 sy harus
mengeluarkan rp 80 juta pada th 1976-aneh kan? kita yang mati2a kerja menyelesaikan proyek yg dapat duit orang lain??? ada lagi menang tender (lowest price) ceritanya spy pengiritan spy pemerinta tidak rugi th 1978 jamannya sekneg sebesar rp 4,5 milyar rp – rupanya untuk bisa teken kontrak harus mengekuarka setela nego2 melakui perantara kl 4% kelar lagi aneh kan?? kredit dari bank pemerinta ga berhasil dapat bank swasta mafia jadi akhirnya yg bodo itu sy sbg pengusaha pribumi-lain di malaysia habis menang tender paginya justru didatangi bank2 nawarin kredit-Ceritanya masih panjang dan yg lrbih parah juga ada kalau menang tender yg besar2 direbut pengusaha penguasa.Mudah2an bermanfaat demi kemajuan bansa terimakasih
Pahompu says
Korupsi di Indonesia adalah suatu kerugian, namun sepertinya ada pihak pihak yang terus mencoba mepertahankannya dengan menghalang halangi perbaikan hukum atas penyakit ini, karena mereka sudah menganggap korupsi ini sebagai keutungan bagi mereka.
Semoga pemimpin kita kedepannya lebih Tegas dan Lebih berfikir Jernih mengenai Masalah ini.
Herdiansyah Hamzah says
Betul. Selalu ada reaksi dari para koruptor, teman-temannya koruptor dan yang akan menjadi koruptor.