The Act of Killing (TAOK), demikian judul film dokumenter karya Joshua Oppenheimer. Film ini begitu apik meng-ilustrasikan bagaimana peran seorang preman asal Medan, Anwar Kongo dalam melancarkan aksi “JAGAL[1]”-nya terhadap orang-orang yang dituduh komunis. Anwar yang kini menjadi sesepuh organisasi yang bernama, “Pemuda Pancasila”, merupakan aktor utama dalam film ini. Meski mengambil setting di Medan, namun apa yang terjadi disana merupakan situasi umum yang tengah dipertontonkan diseluruh pelosok tanah air saat itu.
Tangkap, bui, buang dan bunuh, merupakan frase kata yang paling tepat menggambarkan situasi dipenghujung kekuasan Soekarno tersebut. Mereka yang dicap komunis dan keluarga-keluarganya, tanpa ampun disiksa tanpa proses pengadilan. Mereka dicibir, difitnah dan disingkirkan dalam kehidupan sosial. Lantas apa yang sebenarnya terjadi dimasa itu?
Membongkar Sejarah
Tragedi kemanusiaan G30S[2], tentu saja memiliki tafsir sejarahnya masing-masing. Tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Beragam versi bermunculan mengenai apa sebenarnya yang sedang berlaku di masa itu. Berikut beberapa versi yang dapat kita bandingkan.
Versi pertama tentu saja versi rezim otoriter orde baru Soeharto. Kekuasaan orde baru menggambarkan peristiwa G30S sebagai dosa sejarah yang tidak terampuni. Bagi orde baru, Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah pihak yang dituding paling bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Bahkan ditahun 1984, sutradara Arifin C. Noer menerbitkan film yang bertajuk, “Pengkhianatan G30S/PKI”. Film ini merupakan propaganda hitam rezim Soeharto terhadap PKI.
Versi kedua adalah hasil penelitian yang dipublikasikan oleh Ben Anderson dan Ruth McVey, yang keduanya merupakan sejarawan dari Cornell University, Amerika Serikat. Hasil penelitian yang bertajuk, “Prelimenary Analysis of the October 1, 1965; Coup in Indonesia” atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Cornell Paper”. Dalam paper tersebut, Anderson dan McVey berkesimpulan bahwa peristiwa G30S adalah puncak konflik intern yang terjadi di tubuh Angkatan Darat.
Sebenarnya telah lama terjadi pertentangan antara faksi-faksi di kalangan internal militer, terutama ditubuh Angkatan Darat, yaitu sejak rasionalisasi dan rekonstruksi (Re-Ra) Angkatan Perang dalam pemerintahan Hatta. Pertentangan itu terutama antara profesionalisme model Barat yang dibumbui oleh pembelajaran politik sebagai bagian dari keikutsertaannya dalam kekuasaan negara, dengan semangat revolusioner warisan revolusi 1945 yang masih kental di kalangan perwira menengah AD.
Pada tahun 1965 AD telah terpecah dalam dua kubu yaitu kubunya Jenderal Achmad Yani yang loyal kepada Presiden Soekarno dan kubunya Jenderal A.H. Nasution-Soeharto yang tidak mendukung kebijakan Presiden Soekarno tentang persatuan nasional terutama tentang Nasakom dan Pengganyangan Malaysia.
Versi ketiga datang dari Prof. Wertheim, seorang sejarawan Belanda, selain mendukung tesis Anderson dan McVey, ia juga menambahkan keterlibatan Sjam Kamaruzjaman sebagai agen rangkap/ganda (double agent) yang bekerja untuk PKI dan Angkatan Darat.
Versi keempat adalah versi yang ditulis oleh John Hughes dan Antonie C Dake. Menurut mereka Sukarno adalah otak di balik gerakan ini. G30S adalah skenario yang dipersiapkan Sukarno untuk melenyapkan oposisi sebagian perwira tinggi AD. Pada akhirnya kesimpulan ini mendapatkan pertentangan keras dari keluarga Sukarno[3].
Versi kelima berasal dari pandangan Peter Dale Scott yang menyatakan bahwa ada keterlibatan pihak asing dalam Peristiwa G30S. Mereka menuding keterlibatan agen intelejen Amerika Serikat yaitu CIA yang merancang sebuah konspirasi dengan tujuan untuk menggulingkan kekuasaan Presiden Sukarno. CIA dianggap bekerja sama dengan sebuah klik Angkatan Darat untuk memprovokasi PKI[4].
Mengurai Sejarah
“Sejarah harus ditulis apa adanya”. Demikian pepatah kuno yang tepat untuk menggambarkan situasi sejarah kelam bangsa kita dalam tragedi G30S. Kita tidak sedang berupaya meluruskan sejarah, namun sejarah itu sendiri yang sedang mencari kebenaran sejatinya. Pasca kekuasaan Orde Baru tumbang, sedikit demi sedikit fakta sejarah G30S mulai terungkap.
Film “pengkhianatan G30S/PKI garapan Arifin C. Noer yang menggambarkan begitu detail bagaimana para anggora Gerwani dan Pemuda Rakyat[5] menyiksa, mencungkil mata dan menyileti para Jenderal, adalah propaganda sesat yang sedang dipertontonkan oleh orde baru Soeharto.
Bantahan ini sesuai dengan visum et repertum dari tim dokter yang mengautopsi (bedah mayat) para jenderal yaitu tim dokter yang diketuai oleh Brigjen TNI Dr. Rubiono Kertapati dengan visum et repertum nomor 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109 (untuk tujuh korban) yang menyatakan tidak ada bekas penyiksaan dalam tubuh korban seperti penyiksaan, pencungkilan mata, dan sebagainya.
Kebenaran visum ini akhirnya semakin diperkuat oleh pernyataan Dr. Yahya, yang juga murid salah satu tim dokter yang melakukan visum terhadap para korban 65. Dr. Yahya, pada akhir tahun 2007 telah menemukan bukti hasil visum yang menjelaskan bahwa memang tidak terjadi hal-hal yang dituduhkan oleh Pemerintahan Orde Baru Soeharto.
Sejarah seharusnya digali berdasarkan perspektif korban. Dan kenyataan ini justru dibungkam selama ini. Para korban dibiarkan dengan mulut terkunci tanpa pernah ada ruang sedikitpun untuk berucap. Sejarah dibiarkan langgeng menjadi kabar bohong. Dan benarkan ucapan Joseph Goebbles bawah, “Kebohongan yang diulang sesering mungkin, pada akhirnya akan berubah menjadi kebenaran”. Dan inilah lakon yang dimainkan oleh Orde Baru Soeharto dimasanya.
Tulisan singkat ini disajikan dalam diskusi dan pemutaran film, “The Act of Killing (Jagal)” Forum Pelangi Kalimantan Timur.