The Act of Killing (TAOK), demikian judul film dokumenter karya Joshua Oppenheimer. Film ini begitu apik meng-ilustrasikan bagaimana peran seorang preman asal Medan, Anwar Kongo dalam melancarkan aksi “JAGAL[1]”-nya terhadap orang-orang yang dituduh komunis. Anwar yang kini menjadi sesepuh organisasi yang bernama, “Pemuda Pancasila”, merupakan aktor utama dalam film ini. Meski mengambil setting di Medan, namun apa yang terjadi disana merupakan situasi umum yang tengah dipertontonkan diseluruh pelosok tanah air saat itu.
Tangkap, bui, buang dan bunuh, merupakan frase kata yang paling tepat menggambarkan situasi dipenghujung kekuasan Soekarno tersebut. Mereka yang dicap komunis dan keluarga-keluarganya, tanpa ampun disiksa tanpa proses pengadilan. Mereka dicibir, difitnah dan disingkirkan dalam kehidupan sosial. Lantas apa yang sebenarnya terjadi dimasa itu?
Membongkar Sejarah
Tragedi kemanusiaan G30S[2], tentu saja memiliki tafsir sejarahnya masing-masing. Tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Beragam versi bermunculan mengenai apa sebenarnya yang sedang berlaku di masa itu. Berikut beberapa versi yang dapat kita bandingkan.
Versi pertama tentu saja versi rezim otoriter orde baru Soeharto. Kekuasaan orde baru menggambarkan peristiwa G30S sebagai dosa sejarah yang tidak terampuni. Bagi orde baru, Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah pihak yang dituding paling bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Bahkan ditahun 1984, sutradara Arifin C. Noer menerbitkan film yang bertajuk, “Pengkhianatan G30S/PKI”. Film ini merupakan propaganda hitam rezim Soeharto terhadap PKI.
Versi kedua adalah hasil penelitian yang dipublikasikan oleh Ben Anderson dan Ruth McVey, yang keduanya merupakan sejarawan dari Cornell University, Amerika Serikat. Hasil penelitian yang bertajuk, “Prelimenary Analysis of the October 1, 1965; Coup in Indonesia” atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Cornell Paper”. Dalam paper tersebut, Anderson dan McVey berkesimpulan bahwa peristiwa G30S adalah puncak konflik intern yang terjadi di tubuh Angkatan Darat.
Sebenarnya telah lama terjadi pertentangan antara faksi-faksi di kalangan internal militer, terutama ditubuh Angkatan Darat, yaitu sejak rasionalisasi dan rekonstruksi (Re-Ra) Angkatan Perang dalam pemerintahan Hatta. Pertentangan itu terutama antara profesionalisme model Barat yang dibumbui oleh pembelajaran politik sebagai bagian dari keikutsertaannya dalam kekuasaan negara, dengan semangat revolusioner warisan revolusi 1945 yang masih kental di kalangan perwira menengah AD.
Pada tahun 1965 AD telah terpecah dalam dua kubu yaitu kubunya Jenderal Achmad Yani yang loyal kepada Presiden Soekarno dan kubunya Jenderal A.H. Nasution-Soeharto yang tidak mendukung kebijakan Presiden Soekarno tentang persatuan nasional terutama tentang Nasakom dan Pengganyangan Malaysia.
Versi ketiga datang dari Prof. Wertheim, seorang sejarawan Belanda, selain mendukung tesis Anderson dan McVey, ia juga menambahkan keterlibatan Sjam Kamaruzjaman sebagai agen rangkap/ganda (double agent) yang bekerja untuk PKI dan Angkatan Darat.
Versi keempat adalah versi yang ditulis oleh John Hughes dan Antonie C Dake. Menurut mereka Sukarno adalah otak di balik gerakan ini. G30S adalah skenario yang dipersiapkan Sukarno untuk melenyapkan oposisi sebagian perwira tinggi AD. Pada akhirnya kesimpulan ini mendapatkan pertentangan keras dari keluarga Sukarno[3].
Versi kelima berasal dari pandangan Peter Dale Scott yang menyatakan bahwa ada keterlibatan pihak asing dalam Peristiwa G30S. Mereka menuding keterlibatan agen intelejen Amerika Serikat yaitu CIA yang merancang sebuah konspirasi dengan tujuan untuk menggulingkan kekuasaan Presiden Sukarno. CIA dianggap bekerja sama dengan sebuah klik Angkatan Darat untuk memprovokasi PKI[4].
Mengurai Sejarah
“Sejarah harus ditulis apa adanya”. Demikian pepatah kuno yang tepat untuk menggambarkan situasi sejarah kelam bangsa kita dalam tragedi G30S. Kita tidak sedang berupaya meluruskan sejarah, namun sejarah itu sendiri yang sedang mencari kebenaran sejatinya. Pasca kekuasaan Orde Baru tumbang, sedikit demi sedikit fakta sejarah G30S mulai terungkap.
Film “pengkhianatan G30S/PKI garapan Arifin C. Noer yang menggambarkan begitu detail bagaimana para anggora Gerwani dan Pemuda Rakyat[5] menyiksa, mencungkil mata dan menyileti para Jenderal, adalah propaganda sesat yang sedang dipertontonkan oleh orde baru Soeharto.
Bantahan ini sesuai dengan visum et repertum dari tim dokter yang mengautopsi (bedah mayat) para jenderal yaitu tim dokter yang diketuai oleh Brigjen TNI Dr. Rubiono Kertapati dengan visum et repertum nomor 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109 (untuk tujuh korban) yang menyatakan tidak ada bekas penyiksaan dalam tubuh korban seperti penyiksaan, pencungkilan mata, dan sebagainya.
Kebenaran visum ini akhirnya semakin diperkuat oleh pernyataan Dr. Yahya, yang juga murid salah satu tim dokter yang melakukan visum terhadap para korban 65. Dr. Yahya, pada akhir tahun 2007 telah menemukan bukti hasil visum yang menjelaskan bahwa memang tidak terjadi hal-hal yang dituduhkan oleh Pemerintahan Orde Baru Soeharto.
Sejarah seharusnya digali berdasarkan perspektif korban. Dan kenyataan ini justru dibungkam selama ini. Para korban dibiarkan dengan mulut terkunci tanpa pernah ada ruang sedikitpun untuk berucap. Sejarah dibiarkan langgeng menjadi kabar bohong. Dan benarkan ucapan Joseph Goebbles bawah, “Kebohongan yang diulang sesering mungkin, pada akhirnya akan berubah menjadi kebenaran”. Dan inilah lakon yang dimainkan oleh Orde Baru Soeharto dimasanya.
Tulisan singkat ini disajikan dalam diskusi dan pemutaran film, “The Act of Killing (Jagal)” Forum Pelangi Kalimantan Timur.
Agus Mulyadi says
Sejarah memang sejatinya harus ditulis apa adanya, namun mungkin sial bagi bangsa kita, cuplikan sejarah itu terjadi ketika asas “Penguasa adalah penulis sejarah” masih berlaku sangat kentara, berbeda jauh dengan masa sekarang dimana penulis sejarah yg sesungguhnya adalah media, dan bukan penguasa (kuasai media dan kau akan kuasai dunia) ….. celakanya, sejarah yg berupa rekayasa itu sudah kadung membekas di ingatan warga negara kita, karena boleh jadi, penguasa negara kita dulu merupakan salah satu aktor brainstorming terbaik di dunia, tentu dengan beragam cara, termasuk dengan membredel semua buku sejarah yang tidak menambahkan “/PKI” di belakang G30S.
Dan karena kita sekarang hidup di masa dimana Media adalah Raja, Yah, yg mungkin bisa lakukan hanya berusaha meluruskan sejarah itu dengan menggunakan Media, dan tentu saja, Blog adalah salah satu jenis media.
Herdiansyah Hamzah says
Ya, benar. Sejarah memang menjadi produk kekuasaan. Dimasa Orde Baru, sejarah ditafsirkan seenaknya sesuai dengan kepentingan rezim. Bahkan mediapun tak luput dari intervensi kekuasaan. Faktanya, hari ini media tergantung dari siapa pemilik modalnya. Kita memang butuh media-media akternatif.
Jubah Moden says
Post nie memang betul2 bermanafaat… mungkin tidak pada yg lain…
tapi amat pada saya… terima kasih admin…
Fery says
Ada atu lg,yaitu versi saksi saksi/surviver
alfian says
Fantasi The Act of Killing Yang Mabukkan Dunia
(Joshua atau Anwar Yang Berbohong?)
Oleh: Alfiannur Syafitri
alfisya2005@yahoo.com
6281376151265
“ Joshua Oppenheimer mengenal dan mengetahui sepak terjang Ucok Majestik, bahkan telah bertemu dengan Ucok Majestik dua kali dalam rangka pembuatan film ini.
Fokus film ini bukanlah mengenai bagaimana suatu peristiwa persisnya terjadi, melainkan bagaimana para pelaku pembantaian mengingat sebuah peristiwa, juga bagaimana mereka ingin diingat. Film ini lebih menyoroti bagaimana imajinasi mengenai pembantaian tersebut berdampak pada kebudayaan yang dibangun sampai hari ini. Jagal (The Act of Killing)”
Medan, (………)
Adam Tyson dan rekannya dari Bandung-Shafira, menemui Farianda Putra Sinik, pimpinan redaksi salahsatu media cetak terbitan Medan, (16/01). Dalam diri peneliti Fakultas Ilmu Politik Universitas Leeds-Inggris itu, belum terlihat batas antara pengalaman pribadi dengan fiksi pada film The Act of Killing. Juga belum tampak perbedaan nyata, antara rekonstruksi dari satu peristiwa berdasar pengalaman pribadi para pemeran film itu, atau ilusi dan fantasi para pemeran yang coba dihidupkan dalam rangkaian adegan pada film. Karena itulah dia datang ke Medan, coba menelusuri proses perjalanan pembuatan fim yang berisi pengakuan Anwar Kongo, yang mengaku menjadi Jagal di tahun 1965 di Kota Medan-Sumatra Utara.
Farianda janji pertemukan Adam dengan bintang utama film itu, Anwar Kongo. Ibrahim Sinik-orangtua Farianda, yang muncul diawal adegan, saat ini jauh menurun penglihatan dan pendengarannya hingga sulit untuk diminta keterangan dan komentar. Sementara jurnalis senior lainnya di Medan-Rasyid So Aduon Siregar (SAS), yang dalam film itu menyangkal seluruh kejadian penyiksaan pada adegan demi adegan yang diperankan Anwar Kongo dan Adi Zulkadri, telah wafat beberapa tahun silam.
Farianda sarankan Adam Tyson untuk bertemu Ucok Majestik, satu-satunya pendiri Pemuda Pancasila di Sumatra Utara dan Kota Medan yang masih hidup. Sosok itu merupakan tokoh kunci yang dapat memaparkan detil peranan Pemuda Pancasila, saat terjadinya pertikaian idiologi antara komunis dan bukan komunis.
“Om Ucok satu-satunya saksi dan pelaku sejarah dari Pemuda Pancasila yang tahu persis rangkaian detil situasi saat itu. Kami ini hanya orang-orang yang belakangan mendengar legenda kerasnya pertikaian yang terjadi”, sebut Farianda.
Farianda memaparkan, soal penulisan redaksi kantornya jadi lokasi pembantaian(Lt. 2 Harian Medan Pos), sudah dimuat hak jawab dan bantahannya di Tempo edisi 7 Oktober 2012. Sebab nama media dan kantor yang dituding jadi lokasi pembantaian, baru ditempati pada era tahun 80an. Pastinya, tulisan yang dibuat media nasional itu keliru dan tidak sesuai dengan data serta fakta yang ada. Sedangkan kantor koran yang dimaksud pada (Harian Cahaya), yang berseberangan dengan Medan Bioskop, berada di Jl. Sutomo(Veteran), sekitar 1 Km dari kantor Medan Pos saat ini.
Herman Koto (55 thn) salahsatu pemeran film The Act of Killing yang ikut dalam pertemuan, memotong pembicaraan. Bagi lelaki bertubuh tambun itu, bagi dirinya tidak jadi masalah bila nantinya apa yang diutarakan Ucok Majestik mungkin jauh berbeda dengan adegan dalam film The Act of Killing.
“Banyak versi. Boleh-boleh saja jika Bang Ucok berkata begitu”, dalih Herman Koto.
Herman katakan, dialog pada naskah, rangkaian cerita dan adegan bersumber dari Joshua. Dirinya, Anwar, serta Adi lakukan improvisasi agar adegan tampak seram dan menegangkan. Dengan hadirnya karakter tokoh yang sadis serta kejam.
“Semuanya ya dari Joshua, tapi kami tambah-tambahilah sedikit”, aku Herman, yang ditahun 1965 masih berumur 6 tahun. Karena Adam dan Fia harus kembali ke Bandung, Sabtu pagi (18/01), saya ajak mereka tembak langsung malam itu menuju kediaman Ucok Majestik.
“Belum ada janji, belum telepon. Tapi mari kita coba!”, Adam pasrah mengangkat bahunya. (***)
Gambar 1: Adam Tyson dan Farianda Putra Sinik. (dok: alfian)
Membual Biar Tenar
Yan Paruhum Lubis (80 thn) aktif di Bioskop Majestik sejak tahun 1954, saat baru berusia 20 tahun. Dari bioskop ini, namanya mulai menghinggapi operasional bioskop-bioskop lainnya di Medan. Nama bioskop pertamanya itu, lalu melekat jadi panggilannya sehari-hari sampai kini-Ucok Majestik (Anak-Bioskop Majestik).
Sebuah julukan dari publik kepada dirinya, sebagai satu-satunya “Raja Bioskop” Kota Medan (sampai kini belum ada sosok lain yang memiliki julukan nama belakang bioskop di Medan seperti gelar yang dipunyai Ucok Majestik itu)
Ucok Majestik dibawa para tokoh Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia di Sumatra Utara, yakni; Sekretaris-Kosen Cokrosentono (saat itu pegawai Humas Gubernur Sumut) dan Ketua II Bidang Pemuda-MY. Efendi Nasution (Fendi Keling), menerima mandat pembentukan Pemuda Pancasila untuk Sumatra Utara dari Jendral AH Nasution dan Ratu Aminah Hidayat (istri Jendral Hidayat) di sekretariat partai itu di Jl. Menteng 70 Jakarta-Maret 1962.
Juni 1963 Fendi Keling resmi diangkat jadi Ketua Wilayah Pemuda Pancasila Sumatra Utara. Dua hari sesudah pelantikan, Kerani Bukit-Ketua IPKI menunjuk Ucok Majestik jadi Ketua Kubu Sumatra Utara, sekaligus Kordinator Pemuda Pancasila Kota Medan. Pada pertengahan tahun 1965, IPKI mengangkat Dastagor Lubis jadi Ketua Pemuda Pancasila Kota Medan. Jadi dalam zaman kerasnya konflik idiologi saat itu, Fendi Keling Ketua PP Sumut, Ucok Majestik Ketua Kubu Sumut merangkap Kordinator PP Kota Medan, dan Dastagor Lubis Ketua PP Kota Medan.
Ketika tiba dikediaman Pinisepuh Pemuda Pancasila itu di Jl. Melati Raya Perumnas Helvetia-Medan, tuan rumah sedang tiduran di kamar. Mendengar kedatangan kami gesit dia bangkit dari pembaringan seraya menghampiri, “Tunggu sebentar!, aku cuci muka kebelakang. Seminggu ini batuk, bermacam obat diminum tak sembuh. Sepertinya memang batuknya orangtua”, sambutnya hangat.
Bagi Ucok Majestik yang telah menonton The Act of Killing versi utuh (real-cut, 2:45’), film itu hanyalah fantasi, imajinasi serta ilusi dari sutradara dan para pemeran. Bukan kenyataan dari reka ulang kejadian dimasa lalu. Hal itu terlihat jelas dalam adegan Jalaludin (Jalaludin Yusuf Nasution-Ketua SOBSI dan Sekretaris CDB PKI Sumatra Utara), yang disiksa hingga tewas akibat jeratan kawat.
“Kapan Jalaludin dibegitukan? Siapa yang berani menggitukan Jalaludin?. Mengada-ada saja. Bolehlah kalau mau tenar, tapi jangan bohong”, Ucok Majestik lemparkan kekesalannya.
Dipaparkannya, Jalaludin dan petinggi lainnya yang dianggap terkait dengan komunis seperti Brigjen Ulung Sitepu(Gubernur Sumut saat itu), Letkol. Maliki (Komandan Brigif VII Rimba Raya), serta Peris Pardede(tokoh SOBSI) dan Maruli Siahaan, sempat divonis mati dalam sidang Mahkamah Militer Luar Biasa di Medan. Tapi vonis itu tidak mereka jalani, karena belakangan hukuman dirubah menjadi seumur hidup. Dan tokoh-tokoh itu wafat karena sakit, sekeluarnya dari bui militer. (Mantan Menkeh Ismail Saleh dalam catatan pengakuan Sudisman, menerakan catatan adanya vonis mati Jalaludin dkk oleh peradilan militer ini).
“Para pemuda roman itu tidak tahu, tapi sok tahu. Kalau sejarah ya tulislah apa yang terjadi, bukan yang dipikirkan, dikira-kira atau dirasa-rasa, bahkan diduga-duga. Jadinya ya macam inilah, hanya kekeliruan demi kekeliruan”, keras Ucok Majestik(Pemuda Roman sebutan Ucok Majestik terhadap Anwar Kongo dan Adi Zulkadri yang selalu berpenampilan rapi serta parlente).
Ucok Majestik akui jika Anwar dan Adi belakangan di era 80an aktif di Pemuda Pancasila, serta akrab dengan Alm. Fendi Keling, saat sahabatnya itu sudah tidak aktif lagi sebagai pengurus PP. Sama seperti dirinya yang seiring perjalanan waktu juga harus menepi tergerus alih generasi.
“ Kapan mereka (Anwar dan Adi, red) ikut ke Kampung Kolam. Memang setelah Suharto jadi Presiden, mereka sering terlihat di dekat Fendi Keling. Tapi saat peristiwa Kampung Kolam mereka (Anwar dan Adi) tidak ada disana”, sengit Ucok Majestik tentang kedua juniornya tadi.
Diuraikan Ucok Majestik, 24 Oktober 1965, Rosiman dan Rahmat Lubis-dua orang kepercayaan Fendi Keling menjemputnya dari Deli Bioskop-Kesawan Medan (saat ini ruko diseberang Kantor Medan Pos Jl. Sutoyo Siswi Miharjo Medan). Utusan itu menyampaikan pesan dari Fendi, yang ingin berunding di Mandala.
Dalam pertemuan Ucok dan Fendi yang hanya disaksikan Rosiman dan Rahmat ini disepakati, bahwa besok (25 Oktober 1965) Pemuda Pancasila bergabung dengan pemuda dan rakyat yang menggelar demo di Kampung Kolam. Kawasan terakhir yang jadi basis persembunyian kader komunis, setelah banyak kantor dan sekretariat mereka ditutup akibat gencarnya aksi masa minta PKI dibubarkan.
Dikawasan Kampung Kolam, bersembunyi Wariman (tokoh Pemuda Rakyat Simalungun yang terlibat peristiwa tewasnya Pelda Sudjono-Bandar Betsi). Fendi Keling, lelaki hitam legam berpostur tinggi besar dan dijuluki Singa Sumatra itu lalu membagi tugas dengan Ucok Majestik. Seluruh masa demo termasuk anggota Pemuda Pancasila yang pawai dari Mandala dipimpin Fendi Keling, sedangkan anggota Pemuda Pancasila yang datang mengenderai kenderaan bermotor dari arah Kota Medan dipimpin Ucok Majestik.
“ Saat tiba di Kampung Kolam, bahkan sampai berkemah beberapa hari untuk mencari Adlin dan M. Yakub yang hilang dari rombongan. Selain Rosiman dan Rahmat, Fendi Keling hanya didampingi; Johan, Barik, Mat Jalil, Buyung, serta Arifin Labi-labi. Jadi darimana suasana pembantaian seperti dalam film diperoleh Joshua dan para bintangnya itu”, Ucok Majestik menggerutu. Kemudian menerangkan, kedatangan Letkol RM. Sukardi kelokasi bersama dua petugas Puterpra sore harinya sesudah demo, karena dipanggil Fendi Keling, setelah mellihat banyaknya masa PKI yang menyerahkan diri agar dibawa ke Kantor Kodim.
“Andai Pemuda Pancasila melakukan pembantaian, kenapa Adlin dan M. Yakub tewas disana. Titik lokasi jenazah keduanya didapatkan, berasal dari pengakuan seorang etnik turunan pengusaha penggilingan padi didaerah itu. Jika tokoh PKI ini tidak mengaku, mungkin sampai kini kami tidak tahu dimana jenazah dua orang teman kami yang mereka mutilasi itu mereka benamkan”, mata Ucok Majestik menerawang (lokasi jenazah keduanya dibenamkan itu, persis berada dibawah tugu Kampung Kolam-Deliserdang). Lalu dia menyebutkan nama anggota Pemuda Pancasila yang jadi korban komunis kurun 1964-1965, yakni; M. Nawi Harahap, Hasanuddin, Yusril DS, Abdul Rahim Siregar, Rustam Efendi Koto, Suwardi, dan Ibrahim Umar (juga anggota IPTR-Aceh Sepakat) yang tewas akibat tembakan tentara konsulat RRC yang mereka demo.
Ucok Majestik juga mempertanyakan kapan Anwar Kongo jadi catut di Medan Bioskop (pengakuan Anwar dalam film dirinya adalah catut karcis), sebab pengamanan bioskop itu diambil alih Ucok Majestik dari kelompok Pemuda Jl. Buntu- PJKA, yang dipimpin Adong. Kemudian Ucok menugasi Rosiman menjadi pengawas di Medan Bioskop. Bukan hanya Rosiman sebutnya, beberapa warga Pemuda Pancasila dan Kubu juga dibawa Ucok Majestik masuk dunia panggung hiburan, seperti: Majestik-Kelly, Rex-Dastagor Lubis, Deli-Abdullah Teeng dan Sarbaini Tanjung, Cathay-Barik dan Amran YS(pengamanan bioskop ini diambil alih Ucok Majestik dari kelompok Manis Sembiring), Orion-Dahlan, Morning-Bakti Lubis, Kok Tay-Jep ( pria Minang yang biasa mereka panggil Jepang), Kapitol-Witchin, dan Astanaria-Dame. Para anggota Pemuda Pancasiila, dan Kubu itu sebut Ucok Majestik bukan hanya sekedar menjadi pengamanan, tapi juga sampai memiliki jabatan seperti Akting Manajer, Supervisor atau Mandor Besar,.
“Semua anak bioskop di Medan yang jadi catut, mengambil karcis dariku. Kapan dia (Anwar) jadi catut”, geram Ucok Majestik. Ditambahkannya, kedekatan warga Pemuda Pancasila dengan bioskop, bukan hanya karena sok jagoan ataupun menjual otot saja (penuturan Anwar dalam film), tapi terjalin atas dasar ikatan persaudaraan dan kekeluargaan. Salahsatu pemilik bioskop di Medan saat itu (Nikolas Pulungan-seorang pemuda turunan Tamil tapi mengambil marga Pulungan dari ibunya), adalah pengurus Pemuda Pancasila dibawah Ucok Majestik.
“Mereka bukan pelaku mana mereka tahu (Anwar dan Adi), detil yang kupaparkan ini. Begitulah kalau suka mengada-ada”, Ucok Majestik kembali memperlihatkan kekesalannya terhadap Anwar dan Adi.
Ucok Majestik ingat persis, tahun 2004 lalu Joshua Oppenheimer dan kru perrnah datang bertamu. Menawarkan apakah dirinya minat dibuatkan film tentang kepahlawan pemuda, seperti Samson And Delilah. Tapi belum apa-apa Joshua bertanya berapa banyak anggota PKI dibunuh Ucok Majestik, lalu mengajaknya melawat ke daerah Sungai Ular.
“Apanya orang ini- sudah gilanya?” , begitu kesan pertama Ucok Majestik ketika bertemu Joshua. Karena masih juga datang, dan bicara melulu soal Kampung Kolam, Ucok Majestik akhirnya minta syarat film utuh Pemuda Pancasila kurun 1962-1965 (tidak hanya peristiwa Kampung Kolam), beserta honor sebesar Rp 50 juta. Bagi Ucok Majestik berdasarkan pengamalan pribadinya, peristiwa demo di Kampung Kolam, adalah satu dari puluhan peristiwa demo yang sebelumnya terjadi. Dimana elemen masyarakat dan pemuda minta massa PKI membubarkan diri. Tapi Joshua sepertinya, terlanjur terobsesi pada “legenda-dongeng” Kampung Kolam.
“Setelah itu Joshua tak pernah muncul lagi. Akupun sibuk urusan dengan seorang bos satu media nasional yang menulis dalam biografinya, Ucok Majestik wafat dalam satu kerusuhan di Golden-Medan(areal didepan Majestik) yang diasumsikan melibatkan PP. Hingga seusai kerusuhan itu, muncullah tokoh Olo Panggabean di Medan. Klarifikasiku diterima, dan penulisnya minta maaf atas kekeliruan pemuatan data itu. Lantas tiba-tiba saja tahun 2012 lalu, film The Acf of Killing jadi liputan TEMPO. Jagal dari Medan itu kubantah, sayang hak jawab tidak dimuat utuh. Alasan redaksi liputan berdasar film dan wawancara dengan Joshua, apa boleh begitu cara kerja jurnalis”, kritik Ucok Majestik.
Joshua Oppenheimer yang pernah dikonfirmasi penulis soal keterangan Ucok Majestik September 2012 lalu, menyusul pemuatan hak jawab Ucok Majestik oleh TEMPO. Lewat Facebook-Jagal(The Act of Killing) versi Indonesia, bersikukuh bintang utama filmnya, Anwar Kongo dan Adi Zulkadri, adalah pelaku pembantaian masal, yang berani mengakui perbuatan mereka di masa lalu kepada publik. Sayangnya setelah penulis telusuri, ternyata banyak kekeliruan dari pengakuan orang-orang yang mengaku adalah pelaku ini, dari klarifikasi data dan fakta yang ada.
“Fokus film ini bukanlah mengenai bagaimana suatu peristiwa persisnya terjadi, melainkan bagaimana para pelaku pembantaian mengingat sebuah peristiwa, juga bagaimana mereka ingin diingat”(begitu keyakinan Joshua terhadap para sumbernya yang mengaku adalah pelaku-boks).
Asyik ngobrol dengan Ucok Majestik, membuat kami tak sadar waktu telah melewati dini hari. Adam lalu berjanji, lain waktu dan kesempatan bertemu lagi, kamipun segera pamit undur diri. (***)
Gambar 3: Adam Tyson dan Yan Paruhum Lubis atau Ucok Majestik(dok: Adam)
Maunya Piala Bukan Penjara
Ikut ucapan Ucok Majestik tentang jatuhnya korban dari PP akibat konflik komunis dengan bukan komunis tersebut, khususnya peristiwa di Kampung Kolam. Yang jadi bukti kerasnya konflik hingga terjadi tawuran (bukan pembantaian massal seperti dalam film ) di Kampung Kolam, kami lalu mengunjungi pemakaman Kayu Besar Jl. Thamrin,(17/01), satu dari beberapa pemakaman di Medan, yang menyimpan fakta sejarah kerasnya konflik masa lalu itu..
Dipemakaman ini kami temukan nisan Alm. Adlin Prawira dan M. Yacub (pada nisan tertera tanggal kematian 25 Oktober 1965). Kuburan lainnya. Alm. Ibrahim Umar, bertanggal 10 Desember 1965 (demo konsulat RRC).. Seluruh kuburan dipugar oleh Yayasan Pembangunan Pemuda Indonesia Sumatra Utara (YPPI), sebuah yayasan yang didirikan oleh para aktifis 66. Namun saat ini organisasi itu tak lagi aktif, setelah banyaknya aktifis 66 di Medan yang wafat, seperti Dalmi Iskandar, dan Zakaria Siregar.
Gambar 4: Adam Tyson, Pia dan penulis di makam Adlin dan M. Yakub.
Puas menjelajahi pemakaman, dengan menumpangi Betor dari Thamrin Plaza kami menuju kediaman Anwar Kongo di Jl. Sutrisno Gg. Sehati, Medan. Penulis sempat ceritakan kepada Adam, menurut beberapa media cetak terbitan Medan, Anwar seperti mengalami trauma setelah filmnya jadi perbincangan publik.
Anwar (74 thn) yang dari jauh sepertinya menyadari kehadiran kami,dengan tergesa-gesa serta gugup coba menstarter sepeda motornya. Tapi segera kami hadang, dengan memperkenalkan diri.
“Ya…! Saya tahu siapa kalian”, tegang Anwar dari atas sepeda motor
“Untuk apa lagi tanya-tanya, semuanya sudah jelas. Film sudah diputar dimana-mana, berita tentang saya juga menyebar kemana-mana”, Anwar bicara sambil mengatur jalan nafasnya yang tiba-tiba saja jadi sesak.
“Kasihanilah saya, tadipun baru jatuh dari sepeda motor. Saya trauma, sampai sebulan lebih pergi ke Padang untuk menenangkan diri”, rintih Anwar enggan diwawancara. Tapi ketika tahu Adam Tyson adalah peneliti Universitas Leeds-Inggris, lincah dia turun dari sepeda motornya dan dengan erat menjabat tangan Adam dan Fia.
“Kalian jurnalis tidak netral menulis tentang saya, malah menghujat dan memvonis. Padahal saat itu tak ada pilihan, selain membunuh atau dibunuh”, setengah berbisik Anwar melirik penuh khawatir kanan-kiri, kearah rumah tetangganya. Rupanya Anwar masih kesal terhadap beberapa bantahan terhadap filmnya (Anwar tidak menyebut nama pembantah, apakah Ucok Majestik ataupun Manajemen Koran Medan Pos), lalu mencari kliping dari bawah bangku sepeda motornya, sayang yang dicari tidak ditemukan.
“Maaf ini, saya tidak bisa menerima kalian dirumah. Tadinya mau pergi, . disini sajalah kalian saya terima (jalanan depan rumah). Salam saya untuk Nanda (Farianda, red), katakan kalian sudah saya terima. Jangan nanti kalian katakana saya tidak mau menerima”, Anwar masih saja terengah-engah seperti ada yang menggangu pernafasannya. Ketika Adam memuji Film The Act of Killing banyak menerima penghargaan internasional, sikap dan kondisi Anwar drastis berubah. Dengan bangga Anwar mengakui, masih berhubungan baik dengan Joshua.
“Belum sampai sebulan lalu kita bicara, Joshua telepon saya. Tidak ada masalah antara saya dengan Joshua”, Anwar Kongo tumpahkan isi hatinya. Masih dengan hati berbunga, Anwar mengisahkan awal pertemuannya dengan Joshua. Menurut Anwar saat itu Joshua minta dibantu, dalam membuat film untuk menyelesaikan program doktornya.
“Joshua minta bantu, ya dengan beberapa teman kita bantu pembuatan film dengan jadi pemerannya”, seru Anwar, lalu memuji Joshua sosok yang jenius.
Bahasa Indonesianya malah lebih jauh fasih dibanding Bahasa Indonesia anda”, ujar Anwar kepada Adam Tyson.
“Mudah-mudahan ya dapat Piala Oscar, sudah masuk nominasi tinggal menunggu saja”, riang Anwar sepertinya lupa keadaan nafasnya yang tadinya bermasalah. (Sebelumnya dalam wawancara dengan GATRA, Anwar mengaku belum melihat film The Act of Killing secara utuh. Tapi dalam film versi Real-Cut, diperlihatkan Anwar menonton seluruh film, detil adegan demi adegan yang telah selesai direkam Joshua, dan Anwar memberikan beberapa komentar untuk koreksi kepada Joshua terhadap rangkaian adegan itu)
Ketika penulis tanya, apakah trauma yang dialami Anwar berlangsung sejak dirinya memerankan adegan Jalaludin, mimiknya yang tadi ceria, berubah jadi tegang kembali. Anwar terlihat berusaha mengambil nafas dari mulut, persis saat ketika tengah memerankan adegan Jalaludin.
“Jalaludin itu tokoh. Inilah saya, dan pengalaman sebagai pelaku”, lirih Anwar nyaris berbisik menundukkan wajahnya ketanah. Lalu sepertinya sadar bakal menghadapi datangnya rentetan pertanyaan terkait Jalaludin Yusuf Nasution, Anwar lalu memegang stang sepeda motornya sambil mengatakan harus segera pergi.
“Sudahlah ya tak ada lagi yang perlu dikatakan dan saya jawab. Sudah cukuplah itu”, Anwar kembali terlihat susah payah mengambil nafas lewat mulutnya. Melihat kondisi Anwar yang bikin jantung kami juga deg-degan. Kami kemudian beranjak pergi, sambil mengucapkan terima kasih atas wawancara kepada Anwar Kongo. .
Anwar Kongo tokoh utama dalam “Jagal”-The Act of Killing yang masih berdiri disamping sepeda motornya itu, seolah lega melepas kepergian kami masih sempat lemparkan salam perpisahan.
“Piala Oscar ya, kita doakan untuk Joshua. Saya sudah tua, jangan dipenjara,”, ujarnya tersenyum melambaian tangan, bagaikan selebriti dunia yang tengah berada dalam acara perhelatan penghargaan film internasional .(***)
Gambar 5: Adam Tyson, Pia dan penulis bersama Anwar Kongo
dann prayitno says
dari judul act of killing, film documenter yg mencoba tarik pengakuan para pelaku pembantaian, ini semua memang terasa sangat menyakitkan karena menyangkut ormas pemuda yg identik dengan preman, disisi lain harusnya joshua koreksi beberapa yakni mengikut sertakan anak2 kecil ibu2 yg tidak paham akting alias bukan artis karena akan pengaruhi hati mereka. pembuatan film juga melibatkan anak mantan korban membuat rancu film dokumenter ini arah tak jelas. dari sisi seni film dokumenter banyak kelemahan variasi zoom in kamera, seni grafis alur skenario dan ilustrasi musik, serta dari sisi analis atau ahli psikologi juga tidak dimunculkan jadi yg menonton film ini dipaksa untuk menafsirkan sendiri dokumentasi yg mereka lihat tanpa analisa proses. jadi menurut saya film ini kurang menarik cuma dapat poin 6, tapi dapat poin 9 untuk keberanian.