Belakangan ini, nalar berhukum kita sedang diuji. Terusik dengan beragam peristiwa yang mempertontonkan bagaimana hukum hanya dimaknai sebatas aturan semata. Sementara prinsip, etik dan moralitas diabaikan begitu saja, bahkan cenderung dianggap hal yang lumrah. Malahan ada yang menjadikannya bahan candaan seperti umpatan “ndasmu etik” dan sejenisnya. Orang lupa, hukum tanpa moralitas adalah kosong dan tidak bermakna apa-apa. Seperti kata pepatah latin, “leges sine moribus vanae (laws without morals are useless)”[1]. Artinya, hukum tanpa moralitas, tidak akan ada artinya. Seperti mayat hidup (zombie), yang memiliki tubuh tapi tidak memiliki hati, jiwa, dan pikiran.
Seseorang yang mengaku taat hukum tetapi mengabaikan prinsip, etik, dan moralitas, adalah bentuk kekeliruan mendasar dalam memahami hukum. Sebab hukum bukan hanya rumah peraturan, tetapi juga dibentengi dengan moralitas. Orang pandai yang tidak ditopang dengan moralitas yang baik, maka dia berpotensi menggunakan kepandaiannya untuk kejahatan. Sebaliknya, orang yang pendek akal namun dibekali dengan moralitas memadai, maka dia akan dihargai layaknya manusia beradab. Dalam hukum, menafikan moralitas adalah penyakit serius yang harus disembuhkan.
Memahami Moralitas
Satjipto Rahardjo, berpendapat bahwa mustahil untuk memahami hukum suatu bangsa hanya dengan melihat pada peraturan-peraturannya saja, melainkan harus menggalinya sampai kepada prinsip-prinsip hukumnya[2]. Kata Mark Tebbit, prinsip-prinsip hukum merupakan hal yang inhern dengan moralitas[3]. Dan prinsip hukum itu memberi dimensi etis pada hukum, tegas Sudikno Mertokusumo[4]. Dalam Encyclopedia Americana, etik merupakan usaha manusia untuk mencari norma baik dan buruk, yang juga dapat dimaknai sebagai “the principles of morality”. Sederhananya, etik dan moralitas merupakan petunjuk tentang perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk[5].
Mengutip Merriam Webster, moral pada dasarnya diartikan sebagai hal yang berkaitan dengan prinsip benar dan salah dalam berperilaku, atau hal yang selalu dipadankan dengan etis atau tidaknya suatu tindakan[6]. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, moral didefinisikan sebagai ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya[7]. Dalam Black Law Dictionary, moral dimaknai sebagai bentuk kesesuaian dengan aturan perilaku yang benar yang diakui[8]. Dalam konteks hukum, moral merupakan kumpulan prinsip yang mendefinisikan perilaku benar dan salah, atau standar yang mana tindakan harus sesuai dengan kebenaran dan kebajikan[9].
Sudikno Mertokusumo, menyebut jika hukum dan moralitas merupakan dua sisi dari satu mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Hukum ditujukan kepada manusia sebagai makhluk sosial. Hukum ditujukan kepada manusia yang hidup dalam ikatan dengan masyarakat yang terpengaruh oleh ikatan-ikatan sosial. Sebaliknya, moralitas ditujukan kepada manusia sebagai individu, yang berarti bahwa hati nuraninyalah yang diketuk[10]. Dalam buku “The Morality of Law”, Lon L. Fuller berpendapat bahwa hukum tanpa moralitas adalah kemustahilan[11].
Di sinilah makna moralitas dalam hukum, serupa kacamata untuk membaca baik dan buruk, semacam perkakas untuk mengasah dan menajamkan hati nurani. Tanpa moralitas, hukum hanya akan menjadi rumah peraturan, bukan rumah untuk mencari keadilan.
Menghidupkan Moralitas
Perdebatan antara hukum vs moralitas sudah berlangsung lama. Salah satu debat yang fenomenal adalah antara Herbert Lionel Adolphus Hart atau yang umumnya disebut sebagai H.L.A. Hart vs Ronald Dworkin (Hart vs Dworkin). Secara terbuka, Dworkin melancarkan kritik terhadap positivisme hukum Hart, yang dianggap mengabaikan peran moralitas dalam penanganan perkara hukum, khususnya kasus-kasus besar yang menyita perhatian publik. Menurut Dworkin, “Moralitas memainkan peran penting dalam argumen yang mendukung penilaian tentang hak dan kewajiban hukum tertentu”[12]. Artinya, moralitas memberikan panduan penilaian terhadap hukum.
Dworkin memberikan 2 contoh kasus untuk memahami betapa moralitas menjadi bagian fundamental dari cara kita memahami hukum. Pertama, pada tahun 1889 pengadilan New York, dalam kasus terkenal Riggs v. Palmer, harus memutuskan apakah seorang ahli waris yang disebutkan dalam wasiat kakeknya dapat mewarisi di bawah wasiat itu, meskipun ia telah membunuh kakek-nya sendiri. Pengadilan memulai penilaiannya dengan menyebut wasiat sebagai sesuatu yang sah secara hukum, dan tidak dapat dirubah dalam keadaan apapun. Namun pengadilan memutuskan jika tidak seorang pun boleh mengambil keuntungan atau memperoleh harta benda dengan kejahatannya sendiri. Pembunuh itu, secara moralitas tidak layak menerima warisannya[13].
Kedua, pada tahun 1960, pengadilan New Jersey dihadapkan antara Henningsen v. Bloomfield Motors, Inc. dengan pertanyaan penting apakah produsen mobil dapat membatasi tanggung jawabnya jika mobil tersebut rusak. Henningsen telah membeli sebuah mobil, dan menandatangani kontrak yang menyatakan bahwa tanggung jawab pabrikan atas cacat terbatas pada “memperbaiki” suku cadang yang rusak. Menurut Henningsen, pabrikan seharusnya tidak dilindungi oleh batasan ini, dan harus bertanggung jawab atas biaya medis dan biaya lain dari orang-orang yang terluka dalam suatu kecelakaan. Pada akhirnya pengadilan menyatakan setuju dengan Henningsen[14].
Ini menunjukkan jika moralitas adalah jantungnya hukum. Sebab hukum itu mengambang di lautan etika dan moralitas. Hukum dituntun oleh moralitas. Oleh karena itu, kita tidak bisa mengabaikan moralitas dalam hukum. Produk hukum yang tidak didasari dengan moralitas yang baik, hanya akan melahirkan hukum yang kering dan tandus dari rasa keadilan. Hukum yang jauh dari nilai-nilai yang berkembang di tengah masyarakat. Moralitas harus dihidupkan agar mampu memandu hukum bekerja dengan baik. Dan pembiaran terhadap produk hukum yang cacat moral, adalah dosa terbesar bagi manusia yang merasa masih memiliki nalar, terutama para pembelajar hukum (scholars). Kecuali kita sudah tidak memiliki rasa malu sama sekali!
Tulisan ini sebelumnya sudah dimuat di Koran Harian Kaltim Post, edisi Jumat 2 Februari 2024. Sumber gambar : smartjudges.id.
[1] Sumber : https://archives.upenn.edu/exhibits/penn-history/seals-arms-usage/. Diakses pada tanggal 31 Januari 2024, Pukul 08.21 Wita.
[2] Satjipto Rahardjo. 2014. Ilmu Hukum (cetakan kedelapan). Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. Hlm.47.
[3] Mark Tebbit. 2005. Philosophy of Law. An Introduction. London and New York: Routledge, hlm. 11.
[4] Sudikno Mertokusumo. 2010. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Penerbit Universitas Atma Jaya : Yogyakarta. Hlm.11.
[5] Sudikno Mertokusumo. 1999. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Liberty : Yogyakarta. Hlm.38.
[6] Sumber : https://www.merriam-webster.com/dictionary/moral. Diakses pada tanggal 31 Januari 2024, Pukul 09.47 Wita.
[7] Sumber : https://kbbi.web.id/moral. Diakses pada tanggal 31 Januari 2024, Pukul 09.55 Wita.
[8] Bryan A. Gadner. 2004. Black’s Law Dictionary (Eighth Edition). Page.3194.
[9] Ibid.
[10] Sudikno Mertokusumo. 1999. Loc.Cit.
[11] Marshall Cohen, “Law, Morality and Purpose”, 10 Vill. L. Rev. 640 (1965). Available at: https://digitalcommons.law.villanova.edu/vlr/vol10/iss4/4.
[12] Ronald Dworkin. 1978. Taking Rights Seriously. Camridge, Massachusetts : Harvard University Press.28.
[13] Ibid, page.23.
[14] Ibid.
Leave a Reply