X

Distorsi Sejarah Tragedi G30S PKI

Kader dan Simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) Pada Saat Kampanye Pemilu Tahun 1955. Sumber Gambar : indonesia-project.wikispaces.com.

Kekuasaan orde baru berdiri kokoh di atas darah dan air mata para korban tragedi G30S. Negara melalui aparatur pemaksanya (coercive institution), telah menyalahgunakan kewenangannya (abuse of power) untuk menghilangkan nyawa jutaan manusia yang tidak pernah terbukti secara hukum. Mereka yang dituding anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), termasuk simpatisan serta keluarga, ditangkap, dibuang, dan dibunuh atas nama stabilitas keamanan dan ketertiban Negara. Sarwo Edi, Komandan RPKAD ketika itu, bahkan dengan bangganya menyebut telah menumpas lebih dari 1 juta jiwa baik anggota maupun pengikut serta simpatisan PKI. Ini jelas merupakan tragedi “Genocida” terbesar yang menjadi noda hitam perjalanan sejarah Bangsa Indonesia. Akibatnya, secara social-politik, korban pembataian mengalami trauma yang sangat sulit disembuhkan. Bukan hanya fisik, tetapi juga secara psikis (kejiwaan). Selama berpuluh-puluh tahun mereka dicap pengacau, anti agama, amoral, sampah masyarakat dan stigma negatif lainnya.

Beragam Versi

Tragedi kemanusiaan G30S, tentu saja memiliki tafsir sejarah yang berbeda-beda. Tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Setidaknya terdapat 5 (lima) versi dan pandangan mengenai tragedi G30S ini. Pertama, hasil penelitian yang dipublikasikan oleh Ben Anderson dan Ruth McVey, yang keduanya merupakan sejarawan dari Cornell University, Amerika Serikat. Hasil penelitian yang bertajuk, “Prelimenary Analysis of the October 1, 1965 ; Coup in Indonesia” atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Cornell Paper” (Sumber : Wikipedia).

Dalam paper tersebut, Anderson dan McVey berkesimpulan bahwa peristiwa G30S adalah puncak konflik intern yang terjadi di tubuh Angkatan Darat. Sebenarnya telah lama terjadi pertentangan antara faksi-faksi di kalangan internal militer, terutama ditubuh Angkatan Darat, yaitu sejak rasionalisasi dan rekonstruksi (Re-Ra) Angkatan Perang dalam pemerintahan Hatta. Pertentangan itu terutama antara profesionalisme model Barat yang dibumbui oleh pembelajaran politik sebagai bagian dari keikutsertaannya dalam kekuasaan negara, dengan semangat revolusioner warisan revolusi 1945 yang masih kental di kalangan perwira menengah AD.

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Prof. Wertheim, seorang sejarawan Belanda. Selain mendukung tesis Anderson dan McVey, ia juga menambahkan keterlibatan Sjam Kamaruzaman sebagai agen rangkap/ganda (double agent) yang bekerja untuk PKI dan Angkatan Darat. Ketiga, versi yang ditulis oleh John Hughes dan Antonie C Dake. Menurut mereka Sukarno adalah otak di balik gerakan ini. G30S adalah skenario yang dipersiapkan Sukarno untuk melenyapkan oposisi sebagian perwira tinggi AD. Pada akhirnya kesimpulan ini mendapatkan pertentangan keras dari keluarga Sukarno (Sumber : Galeri Ilmiah).

Keempat, berasal dari pandangan Peter Dale Scott yang menyatakan bahwa ada keterlibatan pihak asing dalam Peristiwa G30S. Mereka menuding keterlibatan agen intelejen Amerika Serikat yaitu CIA yang merancang sebuah konspirasi dengan tujuan untuk menggulingkan kekuasaan Presiden Sukarno. CIA dianggap bekerja sama dengan sebuah klik Angkatan Darat untuk memprovokasi PKI. Kelima, tentu saja versi rezim otoriter orde baru Soeharto. Kekuasaan orde baru menggambarkan peristiwa G30S sebagai dosa sejarah yang tidak terampuni. Bagi orde baru, Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah pihak yang dituding paling bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Versi kelima ini menjadi kontroversial akibat tidak didukung oleh fakta dan data yang mencukupi.

Distorsi Sejarah

Pada masa orde baru, membicarakan peristiwa G30S merupakan hal yang tabu. Bahkan secara akademis, diskursus mengenai komunisme dan sosialisme adalah hal yang diharamkan. Walhasil, sejarah menjadi tafsir tunggal dari kekuasaan. Sejarah diatur sedemikian rupa agar memberikan citra yang baik bagi rezim orde baru Soeharto. Maka benarlah ujar-ujar (maxim) yang menyebutkan bahwa, “Sejarah pada akhirnya tergantung dari siapa yang berkuasa. Baik buruknya tafsir sejarah, semuanya disetir sedemikian rupa menurut kehendak serta kepentingan penguasa“.

Orde baru tidak hanya bekerja secara politis dengan membatasi hak politik korban tragedi G30S, namun juga bekerja pada lapangan social-budaya dengan membentuk opini hitam akan kebiadaban PKI. Pada tahun 1984, sutradara popular Indonesia, Arifin C. Noer bahkan membuat film khusus yang bertajuk, “Pengkhianatan G30S/PKI“, sebagai bentuk propaganda hitam rezim orde baru Soeharto terhadap PKI. Film ini secara membabi buta memberikan kesan PKI sebagai partai yang berisi orang-orang yang tidak berperikemanusiaan, biadab, pembunuh, pelacur dan stigma negative lainnya. Namun setelah ruang demokrasi kian terbuka, berbagai macam propaganda hitam Orde Baru mulai terbongkar.

Dalam sebuah artikel yang berjudul, “How Did The Generals Die?“, Bennedict Anderson menyebutkan bahwa pada tanggal 7 Oktober 1965 Angkatan Bersenjata melaporkan temuan jika Yani dalam kondisi “mata dicungkil” saat ditemukan dilubang buaya. Temuan tersebut dikonfirmasi dua hari kemudian oleh media Angkatan Bersenjata “Barata Yudha“, yang menambahkan bahwa wajah mayat itu ditemukan terbungkus dalam sehelai kain hitam (Sumber : Jurnal Indonesia).

Ini jelas berbanding terbalik dengan hasil “visum et repertum” ketujuh perwira angkatan darat. Tim dokter yang terdiri dari Roebiono Kertopati, Frans Pattiasina, Sutomo Tjokronegoro, Liauw Yan Siang dan Lim Joe Thay, dalam laporan visum et repertum nomor 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109, sama sekali tidak menemukan kondisi korban yang dalam keadaan mata tercungkil, kemaluan terpotong dan lainnya. Dalam visum tersebut hanya menyebutkan bahwa 6 (enam) orang tewas akibat luka tembak dan 1 (satu) orang akibat luka tusuk. Hal ini terkofirmasi melalui salinan visum et repertum yang dimuat dalam artikel Ben Anderson .

Fakta tersebut bukanlah upaya untuk meluruskan sejarah. Tetapi sejarah akan menemukan kebenarannya sendiri. Pada sisi lain, objektifitas sejarah seharusnya digali berdasarkan perspektif korban. Dan kenyataan ini justru dibungkam selama ini. Para korban dibiarkan dengan mulut terkunci tanpa pernah ada ruang sedikitpun untuk berucap. Sejarah dibiarkan langgeng menjadi kabar bohong. Dan benarkan ucapan Joseph Goebbles bawah, “Kebohongan yang diulang sesering mungkin, pada akhirnya akan berubah menjadi kebenaran“. Dan inilah lakon yang dimainkan oleh Orde Baru Soeharto dimasanya.

Catatan :

  • Penulis lebih senang menggunakan kataG30S tanpa PKI sebagai wujud sokongan atas pelurusan sejarah terhadap tragedi pembantaian manusia atas manusia (genocide) tersebut.
  • Salinan visum et repertum ketujuh jenazah perwira angkatan darat, dapat dilihat dalam artikel Bennedict Anderson yang berjudul, “How Did The Generals Die?” di Jurnal Indonesia Vol. 43, (Apr., 1987), pp. 109-134.

Tulisan ini sebelumnya dimuat di Koran Harian Tribun Kaltim, 2 Oktober 2014.

Categories: Ekonomi Politik
Tags: DistorsiG30SPKIPolitikSejarahTragedi