Sejak awal penyusunan, Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (PKPU 20/2018) dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah (beserta perubahannya), telah mengundang perdebatan dibanyak kalangan. Pangkal masalahnya adalah larangan bagi mantan terpidana korupsi, bandar narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak, untuk berpartisipasi dalam Pemilu.
Dalam beberapa waktu terakhir, perdebatan soal larangan caleg eks koruptor ini menjadi status quois seiring dengan penantian agar Mahkamah Agung (MA) memutus keabsahan PKPU 20/2018 ini baik secara formil maupun materil. Jikalaupun MA pada akhirnya memutus perkara ini, dengan hasil apapun, seharusnya tidak membuat harapan mayoritas rakyat Indonesia goyah untuk tetap meneguhkan sikap dan komitmen terwujudnya Pemilu yang bersih dan berintegritas.
Menghormati Putusan
Mahkamah Agung (MA) pada akhirnya membatalkan PKPU 20/2018, karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Banyak pihak yang menyayangkan putusan MA ini, bahkan tak jarang MA dituduh sebagai lembaga pro koruptor dan tidak memiliki sense of moral crisis yang sedang melanda bangsa ini. Namun putusan MA tetapkan sebagai putusan pengadilan yang harus kita hargai. Dalam asas hukum, dikenal istilah “res judicata pro veritate habetur”, yang berarti apa yang diputus hakim harus dianggap benar. Jadi, sebesar apapun ketidaksetujuan kita terhadap putusan suatu lembaga peradilan, tetap kita harus terima sebagai bagian dari kosekuensi kita sebagai negara berdasarkan hukum.
Dalam posisi ini, publik juga harus belajar menerima dan menghargai putusan lembaga peradilan, sejelek dan seburuk apapun dampaknya kepada kita secara subjektif. Kalaupun terjadi perdebatan dan penolakan dimana-mana, itu mesti dipandang sebagai bagian dari dinamika akademis semata. Artinya, putusan pengadilan harus diterima pada satu sisi, tetapi tetap membuka perdebatan sebagai bagian dari diskursus akademik pada sisi lainnya.
Intinya, agar putusan pengadilan dapat diterima oleh semua pihak, maka putusan pengadilan tersebut harus memenuhi prasyarat tertentu, antara lain : Pertama, sebelum putusan diambil oleh hakim, maka hendaknya semua pihak didengarkan secara seimbang. Dalam asas hukum dikenal istilah “audi et alteram partem”, atau dalam bahasa Inggris bisa dipadankan dengan istilah “listen to the other side”, yang dalam bahasa Indonesia kira-kira berarti “mendengar kedua belah pihak”.
Kedua, untuk menghindari kecurigaan publik, maka seharusnya sidang pengadilan berlangsung terbuka. Itu merupakan wujud dari akuntabilitas peradilan kepada masyarakat. Ketiga, informasi seharusnya tersedia setiap saat. Dengan demikian publik dapat mengaksesnya dengan mudah dan cepat. Dalam kasus putusan MA yang terhadap pembatalan PKPU 20/2018 ini, sepertinya MA abai untuk mendengar keterangan pihak terkait secara objektif (terutama keterangan dari KPU yang menyusun produk hukumnya dan Menkumham yang mengundangkan), cenderung tertutup, dan nihil informasi buat publik.
Hal lain yang menjadi kritik terhadap MA adalah, tidak dipenuhinya ketentuan dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan bahwa, “Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi”.
Perkuat Seleksi di Parpol
Partai Politik (parpol) tentu memegang kendali pokok dalam urusan pencalonan caleg eks koruptor ini. Dengan demikian, untuk menjawab hulu persoalan dari polemik calek eks koruptor ini, maka Parpol yang harus didorong untuk berkomitmen agar tidak mencalonkan para mantan terpidana korupsi ini. Harus kita pahami, bahwa Parpol tidaklah bekerja secara eksklusif hanya untuk membela dan memperjuangkan kader-kadernya. Tetapi juga seharusnya menjadi garda terdepan dalam membela moralitas publik.
Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, ditegaskan bahwa, “Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Moralitas publik saat ini teperangkap dalam amarah akibat kian maraknya korupsi yang dilakukan oleh elit politik, khususnya anggota-anggota DPR dan DPRD yang notabene adalah kader-kader yang berasal dari Parpol.
Tugas ini yang harus ditagih kepada Parpol, demi menciptakan Pemilihan Umum (Pemilu) yang bertintegritas. Sebab Pemilu itu bukan hanya soal pengejawantahan hak pilih secara “luber dan jurdil” sebagaimana tagline Pemilu Indonesia sedari dulu. Tetapi Pemilu juga seharusnya didesain agar mampu menyediakan caleg-caleg yang bersih dan berintegritas. Jadi meskipun MA telah membatalkan PKPU 20/2018, kehendak publik untuk dapat disajikan caleg-caleg yang berintegritas dengan rekam jejak mumpuni, tetap dapat dikanalisasi melalui Parpol.
Bagaimanapun, Parpol akan menjadi kunci, apakah Pemilu 2019 nanti tetap akan menyuguhkan caleg mantan terpidana korupsi atau tidak. Akan menjadi anomali jika Parpol toh tetap kekeuh mencalonkan mantan terpidana korupsi, sementara masih banyak orang-orang yang rekam jejak dan integritasnya memadai. Prinsipnya, tidak ada yang salah upaya mengkampanyekan dan mendorong agar Parpol selektif terhadap caleg-caleg yang mereka ajukan, terutama untuk konsisten agar tidak mencalonkan mantan terpidana korupsi, yang sudah terbukti gagal dan abai menjalankan amanat rakyat.
Secara hukum, hak mantan terpidana korupsi untuk turut serta dalam Pemilu, sudah selesai dan tidak perlu diperbedatkan lagi. Namun dalam upaya rekrutmen kader-kader bangsa terbaik, hendaknya Parpol lebih selektif dengan tidak mengajukan mereka yang bermasalah baik rekam jejak maupun integritasnya. Jika masih ada Parpol yang tetap kekeuh mencalonkan mantan terpidana korupsi, maka rakyat patut menghukumnya dengan tidak memilihnya dalam Pemilu 2019 mendatang. Selain itu, kesadaran publik juga mesti dibangun dengan baik agar dalam Pemilu 2019 nanti, dapat menentukan pilihan berdasarkan rasionalitasnya. Setidaknya publik dapat menilai calon yang disuguhkan berdasarkan rekam jejak dan integritasnya. Kampanye untuk menguatkan pemilih rasional ini yang perlu dilakukan secara massif.
Tulisan ini sebelumnya sudah dimuat di Koran Harian Bontang Post, Senin 17 September 2018.
Leave a Reply