Jika tuntutan 1 mei sebagai hari libur, telah dipenuhi oleh Pemerintah, apakah perjuangan kaum buruh lantas berhenti dititik ini? Tentu saja tidak. Deretan panjang persoalan perburuhan, masih menjadi pekerjaan rumah yang harus tetap diperjuangan. Mulai dari persoalan praktek upah murah, hak-hak normatif yang belum terpenuhi (cuti haid, cuti hamil, dll), penghancuran kebebesan berserikat (union busting), ancaman PHK massal, hingga hilangnya jaminan masa depan buruh akibat pola sistem kerja kontrak dan outsourcing.
Sokoguru
Indonesia memiliki tujuan dan cita-cita besar yang bukan hanya menyangkut kesejahteraan Bangsa Indonesia sendiri, tetapi juga kesejahteraan seluruh umat manusia didunia, yakni penghapusan penghisapan manusia atas manusia lainnya (exploitation de I’homme par I’homme) dan penindasan bangsa atas bangsa lainnya (exploitation de nation par nation). Dan untuk mencapai tujuan dan cita-cita tersebut, maka seluruh elemen Bangsa dituntut untuk memberikan sokongan yang besar pula. Salah satu elemen penting dalam upaya mencapai tujuan ini adalah kaum buruh. Tidak hanya karena posisinya yang vital dalam berbagai sektor kehidupan, namun juga karena jumlahnya yang besar secara kuantitas.
Buruh merupakan kekuatan penting dalam membangun Bangsa dan Negara. Buruh adalah sokoguru (tiang utama) yang akan menentukan perjalanan suatu Bangsa menuju kehidupan yang jauh lebih baik. Dalam sebuah kesempatan pidatonya, Soekarno menegaskan bahwa, revolusi Indonesia-pun mempunjai sokoguru-sokoguru. Daripada sokoguru-sokoguru Revolusi Indonesia ini dua adalah amat penting, jaitu sokoguru buruh, sokoguru tani. Artinja, djikalau Revolusi Indonesia itu tidak didjalankan, tidak terpikul, tidak dilaksanakan oleh kaum buruh, dia akan gugur, djikalau tidak didjalankan, tidak dipikul, tidak dilaksanakan oleh kaum tani, gugurlah Revolusi itu (Sumber : Sejarah Revolusi).
Intinya, dipundak kaum buruhlah masa depan Negara dipertaruhkan. Namun sangat disayangkan, pernyataan Soekarno tersebut tidak berbanding lurus dengan kondisi kaum Buruh Indonesia saat ini. Buruh cenderung masih terpinggirkan dalam berbagai hal. Bahkan tidak sedikit dari kita yang masih mengidentikkan buruh dengan pekerja kasar dan serabutan. Disamping itu, perlakuan yang tidak manusiawi terhadap buruh, juga masih menjadi pemandangan keseharian yang tak jarang kita temui. Coba saja tengok bagaimana penyiksaan terhadap buruh migran Indonesia diberbagai Negara, perbudakan buruh pabrik kuali di tanggerang, pelecehan buruh perempuan diberbagai perusahaan, hingga penghalangan kebebasan berserikat yang terjadi dimana-mana.
Upah Murah
Tidak dapat dipungkiri, Indonesia merupakan Negara yang upah buruhnya tergolong murah. Menurut hasil survei Departemen of Labor and Employment National Wages and Produktivity Commission tentang perbandingan upah tahun 2014 ini, Indonesia menempati urutan terendah nomor 6 dalam hal peringkat upah minimum diantara Negara-Negara Asia dan sekitarnya. Dari 16 Negara yang disurvei, Indonesia berada diperingkat 11 dibawah Filipina, Thailand dan Malaysia (Sumber : Department of Labor and Employment). Indonesia sendiri memiliki rata-rata upah minimum bulanan terendah sebesar 105.96 USD atau sekitar Rp.1,2 juta dan tertingginya sebesar 215.57 USD atau sekitar Rp. 2,441 juta. Negara yang menempati peringkat tertinggi adalah Australia dengan upah minimum bulanan tertinggi sebesar 3,425.81 USD atau sekitar Rp.38,797 juta. Sedangkan Nyanmar menempati urutan terendah dengan upah minimum bulan tertinggi sebesar 61.34 USD atau sekitar Rp.694,6 ribu.
Nike adalah salah satu perusahaan ternama dunia yang tidak luput dari kritikan terkait praktek upah murah ini. Menjelang perhelatan piala dunia 2014 di Brasil, Nike memproduksi kostum tim nasional Inggris dengan harga fantastis, £90 atau sekitar Rp.1,7 juta/kostum. Nike membuat kostum itu di 40 pabrik yang berada di Indonesia dengan melibatkan 171.000 orang tenaga kerja Indonesia dalam proses pengerjaannya. Pertanyaannya, mengapa Nike justru membuat kostum tersebut di Indonesia? Alasan yang paling rasional adalah karena biaya produksi dan upah Buruh di Indonesia tergolong murah. Disamping itu, menurut Ultra Petita, salah satu perusahaan saingan Nike yang berbasis di Prancis, selain upah buruh yang murah, pembuatan kaos di negara ketiga seperti Indonesia hanya menelan biaya sebesar £4 atau sekitar Rp 78.000 per potong. Jika dibuat di Eropa, harga bisa meroket mencapai £17 atau sekitar Rp 337.000 per potong (Sumber : Mirror UK).
Aida, seorang buruh pabrik Nike di Indonesia, dapat menjahit kostum Nike setiap 30 detik, sekitar 120 potong per jam di pabrik. Tetapi sayang, rata-rata buruh diperusahaan tersebut mendapatkan upah di bawah standar. Dari satu kostum yang terjual, diperkirakan seharga 40 persen dari perndapatan seorang buruh per bulan. Nike telah mendapatkan keuntungan besar dari pekerjaan para buruh, tapi gagal memastikan gaji buruh-nya secara layak dan adil.
Nasib Aida ini tentu saja memberikan gambaran betapa ironi nasib Buruh di Indonesia. Keringat dan pengabdian mereka, tidak sebanding dengan upah yang mereka dapatkan. Pada sisi lain, Negara melalui Pemerintah, tentu saja memiliki tanggung jawab dalam memastikan terpenuhinya hak-hak dasar kaum buruh tersebut, sebagaimana amanah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya pasal 27 ayat (2) yang menegaskan bahwa, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Cukup sudah penderitaan kaum buruh Indonesia. Setiap dari kita dituntut untuk menyokong segala upaya kaum buruh untuk memperjuangkan kesejahteraan. Kaum buruh harus diangkat setinggi-tingginya dalam derajat kemanusiaan, sebab mereka adalah sokoguru Bangsa.
Tulisan ini sebelumnya dimuat di Koran Harian Tribun Kaltim, 1 Mei 2014.