X

Basa-Basi Hak Angket

Wacana hak angket disebut layu sebelum berkembang. Dianggap hanya isapan jempol belaka. Tudingan ini ada benarnya. Sebab secara matematis, kelompok yang mewacanakan hak angket memiliki segala persyaratan untuk segara menggulirkan hak angket. Mungkin satu-satunya yang mereka belum miliki adalah “keseriusan”. Mereka seperti dihinggapi keraguan. Kata Pramoedya Ananta Toer, “jangan pikirkan kekalahan, pikirkan dulu perlawanan yang sebaik mungkin, sehormat mungkin”. Sayang, ungkapan ini belum jadi pegangan bagi mereka. Politik tawar menawar, politik kompromi, politik dagang sapi, sepertinya masih dominan dalam dinamika politik Indonesia. Semacam basa-basi politik. Bisa jadi wacana hak angket hanya semacam gertakan untuk membangun posisi tawar tertentu. Kalau sudah dapat jatah posisi tertentu, ia akan menarik dukungan dari wacana hak angket. Karakter politik semacam ini yang merusak sistem politik kita. Sulit mendapatkan elit politik yang konsisten dan teguh dengan prinsip.

Jika dihitung, tidak sulit merealisasikan hak angket ini di atas kertas. Dalam ketentuan Pasal 199 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3), disebutkan jika pengajuan hak angket cukup diusulkan oleh paling sedikit 25 orang anggota DPR dan lebih dari 1 fraksi. Dan secara teknis, usulan ini akan menjadi hak angket DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 jumlah anggota DPR yang hadir[1]. Artinya, dari total 575 anggota DPR, hanya dibutuhkan lebih dari setengahnya atau sekitar 288 suara anggota DPR untuk menyetujui pelaksanaan hak angket. Jika fraksi pendukung 01 dan 03 disatukan, maka akan diperoleh 314 suara dengan komposisi PDI-P (128 suara), PPP (19 suara), Nasdem (59 suara), PKB (58 suara), dan PKS (50 suara). Jadi tunggu apa lagi?

Memahami Angket

Hak angket adalah hak konstitusional yang dimiliki oleh DPR. Pasal 20A ayat (2) UUD 1945 menyebutkan secara eksplisit bahwa, “DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat”. Ketiga hak ini merupakan bekal penting bagi DPR untuk menjalankan fungsi pengawasaannya kepada Pemerintah. Penggunaan ketiga hak ini, pertanda DPR menjalankan fungsi pengawasaannya dengan baik. Konsep dan mekanisme check and balances system hanya akan bekerja jika DPR menjalankan fungsi pengawasannya. Jika “hak interpelasi” adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara[2], maka “hak angket” adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan[3].

Penggunaan hak angket ini dapat berlanjut ke hak menyatakan pendapat, yang diujung prosesnya berpotensi memakzulkan presiden. Dalam ketentuan Pasal 208 ayat (1) UU MD3, disebutkan bahwa, “Apabila rapat paripurna DPR memutuskan bahwa pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, DPR dapat menggunakan hak menyatakan pendapat”. Hal ini dipertegas melalui kententuan Pasal 79 ayat (4) huruf b UU MD3 yang menyebutkan bahwa “Hak menyatakan pendapat” sendiri dapat dilakukan sebagai tindak lanjut atas pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket. Jadi tinggal bagaimana memastikan agar proses hak angket ini berjalan on the track dengan bukti-bukti yang menegaskan kalau pemerintah memang telah secara nyata dan terang-benderang telah mengambil keputusan yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan.

Objek Angket

Isu hak angket ini santer dikaitkan dengan kecurangan yang terjadi dalam Pemilihan Umum (Pemilu). Karena itu banyak yang beranggapan jika hak angket ini akan menyasar Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pertanyaannya, apakah keputusan-keputusan KPU bisa dijadikan sebagai objek hak angket? Apakah KPU dikualifikasikan sebagai lembaga yang berada di bawah kekuasaan eksekutif? Hal yang perlu diluruskan dengan penjelasan yang memadai, agar publik tidak disesatkan dengan asupan informasi dan pengetahuan yang salah. Pada intinya, penetapan KPU terkait hasil-hasil pemilu nantinya, tentu saja kanalnya tetap berada dalam kamar penyelesaian sengketa hasil melalui Mahkamah Konstitusi (MK). Tapi ingat, yang memiliki legal standing terbatas hanya pada para calon atau peserta pemili saja. Sementara publik tidak punya akses secara terbuka. Oleh karena itu, hak angket menjadi salah satu opsi untuk membongkar kecurangan apa saja yang terjadi dalam pemilu ini.

Namun perlu ditegaskan soal batasan kecurangan ini, tidaklah berfokus kepada angka-angka hasil pemilu. Tetapi darimana dan bagaimana hasil-hasil itu diperoleh. Apakah diperoleh dengan cara-cara curang atau tidak! Apakah didapatkan melalui tindakan abusive atau tidak! Jika hasil-hasil pemilu itu diselesaikan di MK, maka tudingan hasil-hasil pemilu itu diperoleh dengan cara curang, diselesaikan di DPR melalui penggunaan hak angket. Oleh karena itu, objek hak angket tetaplah kekuasaan pemerintah. Selain pengawasan, aktivasi hak angket ini juga sekaligus menjadi penyambung lidah publik yang mengeluhkan banyak hal tentang kecurangan pemilu. Mulai dari dugaan intervensi terhadap MK yang melapangkan jalan politik dinasti, cawe-cawe presiden untuk memenangkan calon tertentu, hingga praktek politik gentong babi dengan cara mempolitisasi bantuan sosial demi meraup suara. Dan jika hak angket ini belum juga diwujudkan, artinya wacana hak angket tidak lebih dari “basa-basi” dari para elit politik!

Tulisan ini sebelumnya sudah dimuat di Koran Harian Kaltim Post, edisi Rabu 6 Maret 2024.


[1] Pasal 199 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

[2] Lihat ketentuan Pasal 79 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3.

[3] Lihat ketentuan Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3.

Categories: Ekonomi Politik
Tags: DPRPemiluPengawasanPolitik